Makalah Zakat profesi
KHILAFIAH DALAM BEBERAPA FATWA
MENGENAI
KEWAJIBAN MENGELUARKAN ZAKAT PROFESI
A.
Pendahuluan
Diskursus
mengenai zakat profesi sebenarnya masih merupakan hal yang masih baru
–khususnya- di Indonesia. Di kalangan ulama Indonesia sendiri mengenai status
hukum zakat profesi masih terjadi perbedaan pendapat. Beberapa ormas islam
besar seperti NU, Muhammadiyah, persis, MUI, dan lain-lainnya memang telah
mengeluarkan fatwa tentang wajibnya umat Islam membayar zakat profesi bagi yang
telah memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi, dalam prakteknya pelaksanaan/
penunaian zakat profesi oleh umat islam yang berada di bawah naungan
ormas-ormas tersebut seperti masih setengah hati.
Barang
kali karena pewajiban zakat profesi ini yang masih mengandung dugaan tercampur
dengan kepentingan politik atau terkesan adanya pemaksaan dalil sehingga kurang
mendapat respon dari umat. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab akademik para
akademisi kampus, khususnya akademisi dalam ilmu hukum islam untuk mempertajam
analisa fatwa mengenai zakat profesi ini sehingga dapat meyakinkan masyarakat.
Berdasarkan
latar belakang permasalahan tersebut, penulis bermaksud sedikit mengulas
mengenai permasalahan-permasalahan dalam zakat profesi.
B.
Konsep
Zakat Dalam Literatur Fikih
1.
Pengertian
zakat
Istilah Zakat sendiri menurut bahasa adalah النمو
و الزيادة (tumbuh/berkembang dan bertambah seperti
dalam kalimat زكا الزرع (tanaman bertumbuh/berkembang). Terkadang zakat bermakna الطهارة
(suci) seperti dalam al Qur’an: قد أفلح من زكاها (QS. Al Syams: 9) yakni طهرها عن الأدناس (mensucikan dari kotoran-kotoran). Terkadang
zakat bermakna المدح (pujian) seperti dalam al Qur’an: فلا تزكوا أنفسكم (QS. Al Najm: 32). Terkadang zakat juga
bermakna زيادة الخير (bertambah kebaikannya) seperti dalam
kalimat رجل زكي (lelaki yang bertambah kebaikannya.[1]
Sedangkan menurut istilah syara’, ulama mendefinisikan zakat dalam
redaksi kalimat yang berbeda-beda. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: mengeluarkan
satu bagian tertentu dari harta yang telah mencapai nishab kepada penerimanya
apabila kepemilikan harta tersebut sempurna (تم الملك), telah berlangsung 1 haul, bukan barang tambang
atau tanah yang sedang digarap( غير معدن وحرث).
Ulama hanafiyah mendefinisikan zakat sebagai: memberikan kepemilikan
sebagian harta tertentu )تمليك ج جزء مال مخصوص), dari harta tertentu (من مال
مخصوص), kepada orang tertentu,
yang telah ditentukan oleh pemilik syariat (Allah) karena Allah Ta’ala (عينه الشارع لوجه
الله تعالي) . Menurut
ulama syafi’iyah, definisi zakat adalah: sebuah nama untuk sesuatu yang
dikeluarkan bagi harta dan badan dengan cara tertentu (اسم لما يخرج عن مال وبدن علي وجه
مخصوص). Sedangkan menurut
ulama hanabilah, zakat adalah: suatu hak yang wajib dalam harta tertentu
bagi golongan tertentu pada waktu tertentu (حق واجب في مال مخصوص لطائفة مخصوصة في
وقت مخصوص).[2]
2.
Hukum
zakat dan dalilnya
Zakat adalah salah satu dari rukun islam yang lima. Menunaikan
zakat hukumnya fardlu ‘ain bagi setiap orang yang telah terpenuhi
syarat-syaratnya. Dalil atas wajibnya zakat bisa ditemui dalam al qur’an, al
Sunnah, dan Ijma.[3]
Dalil dalam al Quran terdapat dalam beberapa surah, antara lain:
a)
Surah
al Nur: 56
(#qßJÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur
no4qx.¨9$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
öNà6¯=yès9
tbqçHxqöè?
ÇÎÏÈ
“dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah
kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”.
b)
Surah
al Ma’arij: 24-25)
úïÉ©9$#ur þÎû öNÏlÎ;ºuqøBr& A,ym ×Pqè=÷è¨B ÇËÍÈ È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãósyJø9$#ur ÇËÎÈ
(24) “dan orang-orang
yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”,
(25) “bagi
orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta)”,
Dalil
dalam al Sunnah antara lain:
عن
سالم بن عامر قال: سمعت أبا أمامة يقول: سمعت رسول الله صلي الله عليه و سلم يخطب
في حجة الوداع فقال: اتقوا الله, وصلوا خمسكم, وصوموا شهركم, وأدوا زكاة أموالكم
وأطيعوا ذا أمركم, تدخلوا جنة ربكم. (رواه الترمذي)
“dari Salim bin
Amir, ia berkata: aku mendengar Abu Umamah berkata: aku mendengar Rasulullah
SAW berkhutbah pada saat haji wada’. Beliau bersabda: Bertaqwalah kepada Allah, shalatlah 5 (waktu)
kalian, berpuasalah pada bulan kalian (bulan Ramadhan), tunaikanlah zakat harta
kalian, dan taatilah pemerintah kalian, maka kalian akan masuk surga Tuhan
kalian”. (HR. Turmudzi)
Adapun menurut ijma’, umat telah bersepakat
bahwa zakat termasuk rukun Islam dengan syarat yanh khusus.
3.
Syarat
wajib zakat
Syaikh Wahbah al Zuhaili dalam kitab mausu’ah al fiqh al islamy
wa al qadlaya al mu’ashirahnya menyebut beberapa syarat wajib zakat, antara
lain: [4]
a)
Merdeka
b)
Islam
c)
Baligh
dan berakal
Menurut
Jumhur ‘ulama, seseorang yang diwajibkan berzakat tidak disyaratkan harus
baligh dan berakal, anak kecil maupun orang gila tetap diwajibkan berzakat.
Adapun yang wajib mengeluarkan zakatnya adalah wali dari anak kecil dan orang
gila tersebut.
1)
2
koin mata uang (dinar dan dirham) atau sejenisnya
2)
Barang
tambang (ma’din) dan harta karun peninggalan jahiliyah (rikaz)
3)
Barang
dagangan (‘urudl al tijarah)
4)
Pertanian
(al zuru’) dan buah-buahan (al tsimar), dan
5)
Hewan
ternak yang dibudidayakan (al an’am al ahliyah).
e)
Harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya tersebut telah mencapai nishab atau nilainya
sama dengan nishab
f)
Milik
sempurna
g)
Telah
dimiliki selama 1 haul menurut perhitungan tahun qamariyah
4.
Nishab
zakat
Nishab adalah
sesuatu (kadar) yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai tanda telah wajibnya
dikeluarkan zakat, baik dari emas dan perak maupun lainnya.[6] Nishab untuk setiap jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
berbeda-beda ketentuannya menurut fikih. Secara ringkas, Al Imam Abu Syuja’
menguraikan tentang ketentuan nishab zakat berdasarkan jenis-jenis hartanya
sebagai berikut:[7]
a)
Binatang
ternak
1)
Unta
Jika memiliki 5
unta, maka zakatnya adalah 1 syah (domba/kambing). 10 unta zakatnya 2 syah.
15 unta zakatnya 3 syah. 20 unta zakatnya 4 syah. 25 unta
zakatnya 1 bintu makhadl (unta umur 1 tahun menginjak 2 tahun). 36
unta zakatnya 1 bintu labun (unta umur 2 tahun menginjak 3 tahun).
46 unta zakatnya 1 hiqqah (unta umur 3 tahun menginjak 4 tahun). 61 unta
zakatnya 1 jadza’ah (unta umur 4 tahun menginjak 5 tahun). 76 unta
zakatnya 2 bintu labun. 91 unta zakatnya 2 hiqqah. 121
unta zakatnya 3 bintu labun. Kemudia setiap pertambahan 40 unta
zakatnya 6 bintu labun dan setiap pertambahan 50 unta zakatnya 50
hiqqah.
2)
Sapi
30 sapi
zakatnya 1 tabi’ (sapi umur 1 tahun menginjak 2 tahun). 40 sapi zakatnya
1 musinnah (sapi umur 2 tahun menginjak 3 tahun). Untuk seterusnya, bisa
dianalogikan ke hitungan tersebut.
3)
Domba/kambing
40 domba/kambing
zakatnya 1 domba syah jadza’ah (domba yang telah sempurna berumur
1 tahun menginjak 2 tahun) atau 1 kambing kacang tsaniyyah (kambing
kacang yang telah berumur 2 tahun menginjak 3 tahun).
b)
Emas
dan perak
Nishab
emas adalah 20 mitsqal/dinar. Zakat untuk emas dan perak adalah rub’
al ‘usyr (2,5%), sepadan dengan setengah mitsqal atau 5 dirham.
c)
Pertanian
dan buah-buahan
Nishab
Pertanian dan buah-buahan adalah 5 wasaq yakni 1600 rithl Iraq (sekitar
715 kg). adapun zakatnya, apabila dalam pengairannya memerlukan treatment
yang berbiaya maka 5%. Apabila tidak memerlukan treatment yang berbiaya
maka 10%.
C.
Pengertian
Zakat profesi
Adapun
istilah zakat profesi sebenarnya adalah istilah yang relatif baru dalam
khazanah ilmu fikih. Menurut al Qardlawi, Istilah zakat profesi ini pertama
kali dikemukakan oleh guru-gurunya seperti Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu
Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf dalam ceramah-ceramah mereka tentang zakat di
Damaskus pada tahun 1952. Dalam ceramah-ceramah mereka tersebut sampai pada
suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa penghasilan dari pekerjaan dan profesi
dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab.[8]
Istilah
zakat profesi ini mulai popular setelah diterbitkannya disertasi al Qardlawi yang
berjudul “فقه الزكاة: دراسة مقارنة لاحكامها و فلسفتها
في ضوء القرآن و السنة” (Studi komparatif
mengenai status hukum dan filosofi zakat berdasarkan al Qur’an dan al Sunnah). Dalam
penelitian disertasinya tersebut, Al Qardlawi tidak menyebut istilah zakat
profesi secara eksplisit, akan tetapi ia membahas pengertiannya secara jelas
dalam bab زكاة كسب العمل
والمهن الحرة (Zakat
pekerjaan dan wiraswasta). Dalam bab زكاة كسب العمل والمهن الحرة
ini al Qardlawi membagi pekerjaan yang dilakukan orang yang dapat mendatangkan
penghasilan bagi yang melakukannya menjadi dua macam, yakni: [9]
1.
Seorang
yang bekerja langsung untuk dirinya sendiri tanpa harus tunduk kepada pihak
lain, baik dengan menggunakan tangan atau otak/akal. Penghasilan yang diperoleh
dengan cara ini merupakan penghasilan professional, seperti penghasilan seorang
dokter, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.
2.
Pekerjaan
yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun
perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan berkat ketrampilan tangan,
otak, ataupun kedua- duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa
gaji, upah, ataupun honorarium.
Kesimpulan
al Qardlawi mengenai zakat profesi ini adalah wajib. Alasan diwajibkannya zakat
profesi ini karena Islam pada dasarnya tidak mewajibkan zakat atas harta
berdasarkan sedikit atau banyaknya, akan tetapi zakat diwajibkan atas harta
benda yang telah mencapai nishab, bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan
pokok pemiliknya. Hal ini lah yang menetapkan siapa yang tergolong kaya yang
wajib zakat sebagaimana disebut dalam al Qur’an (al Baqarah: 219) dan hadits
Rasulullah SAW: “kewajiban hanya bagi orang kaya”.[10]
D.
Beberapa
Fatwa tentang zakat profesi
1.
Menurut
MUI[11]
Berdasarkan
Fatwa MUI nomor 3 Tahun 2003 tentang zakat penghasilan, yang dimaksud dengan
“penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa,
dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat
negara, pegawai atau karyawan, maupub tidak rutin seperti dokter, pengacara,
konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas
lainnya.
Berdasarkan
fatwa tersebut, semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya
dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85
gram. Adapun landasan dalil yang dipakai
adalah sebagai berikut:
a.
Al
Quran
1)
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# (
wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4
(#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji”. (QS. Al Baqarah: 267)
2)
* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur (
ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3
Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
“mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir”. (QS. Al Baqarah: 219),
3)
öqs9ur óOßg¯Rr& (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur ×pt/qèVyJs9 ô`ÏiB ÏYÏã «!$# ×öyz (
öq©9 (#qçR%x. cqßJn=ôèt ÇÊÉÌÈ
“Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa,
(niscaya mereka akan mendapat pahala), dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allah
adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui” (QS. Al Taubah: 103).
b.
Al
Hadits
1)
روي مرفوعا من حديث ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم انه قال: لا
زكاة في مال حتي يحول عليه الحول
Diriwayatkan
secara marfu’ hadits Ibn Umar, dari Nabi SAW beliau bersabda: tidak ada zakat
pada harta sampai berputar selama 1 tahun
2)
عن ابي هريرة ان النبي صلي الله عليه وسلم قال: ليس علي المسلم في
عبده ولا فرسه صدقة (رواه مسلم)
Dari Abu
Hurairah, Nabi SAW bersabda: tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba
sahaya dan kudanya”. (HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini menjadi dalil bahwa harta
Qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk
dikembangkan) tidak dikenakan zakat.
3)
عن حكيم ابن حزام رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: اليد
العليا خير من اليد السفلي وابدأ بمن تعول وخير الصدقة عن ظهر غني ومن يستعفف يعفه
الله ومن يستغن يغنه الله (رواه البخاري)
Dari Hakim Bin Hizam RA, Nabi SAW bersabda: Tangan di atas lebih
baik dari tangan di bawah. Mulailah (menyedekahkan harta) kepada orang yang
menjadi tanggungjawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari
kelebihan kebutuhan. Barang siapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah
akan menjaganya. Barang siapa berusaha mencukupi diri, Allah akan memberinya
kecukupan. (HR. al Bukhari)
4)
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: انما الصدقة عن
ظهر غني و اليد العليا خير من اليد السفلي وابدأ بمن تعول (رواه أحمد)
“Dari
Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah hanyalah dikeluarkan dari
kelebihan/kebutuhan. Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah
(dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu”(HR. Ahmad).
c.
Qaul
Ulama
من المعلوم أنّ الاسلام لم يوجب الزكاة في كل مال قل أو كثر, وانما
أوجب فيما بلغ نصابا فارغا من الدين وفاضلا عن الحاجات الأصلية المالكية, وذالك
ليتحقق معني الغني الموجب للزكاة
Al Qardlawi menilai zakat profesi ini adalah wajib karena Islam
pada dasarnya tidak mewajibkan zakat atas harta berdasarkan sedikit atau
banyaknya, akan tetapi zakat diwajibkan atas harta benda yang telah mencapai
nishab, bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Hal
ini lah yang menetapkan siapa yang tergolong kaya yang wajib zakat sebagaimana
disebut dalam al Qur’an (al Baqarah: 219) dan hadits Rasulullah SAW: “kewajiban
hanya bagi orang kaya”
2.
Menurut
Nahdlatul Ulama
Dari
NU penulis tidak menjumpai fatwa yang dikeluarkan langsung oleh Lembaga Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU), akan tetapi dalam laman situs resmi Nahdlatul
Ulama penulis menemukan satu tulisan mengenai zakat profesi ini dalam rubrik
Tanya-jawab. Menurut pengasuh rubrik Tanya jawab tersebut, ketentuan mengenai
zakat profesi adalah sebagai berikut:[12]
a)
Hukum
zakat profesi
“Jika pendapatan bersih seorang pekerja
selama setahun seperti dokter atau karyawan sebuah perusahaan atau pegawai
pemerintahan mencapai nishab yang telah ditentukan maka ia wajib mengeluarkan
zakatnya. Sedang zakatnya dikeluarkan ketika menerima pendapatan tersebut.
Contohnya jika seseorang selama setahun memperoleh pendapatan bersih sekitar 48
juta, dengan asumsi ia menerima pendapatan bersih setiap bulan 4 juta. Maka ia
harus mengeluarkan zakat setiap bulannya 2,5 % dari 4 juta tersebut, yaitu
sebesar 100 ribu. Jadi selama setahun ia mengeluarkan zakat sebesar 1,2 juta.”
b)
Landasan
dalil
Referensi yang
dipakai dalam pewajiban zakat profesi di sini antara lain dengan mengutip
pendapat dari 2 ulama muta’akhirin yakni Syaikh Muhammad al Ghazali dan Syaikh Yusuf
al Qaradlawi.
Syaikh Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang
bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat
penghasilannya. Ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya
pertanian.
إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ
الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً؛
فَالطَّبِيْبُ، وَالْمَحَامِي، وَالْمُهَنْدِسُ، وَالصَّانِعُ، وَطَوَائِفُ
الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ
الزَّكَاةُ، وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ --محمد الغزالي،
الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية، مصر-دار النهضة، الطبعة الأولى، ج، 1، ص. 118
“Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari
petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya,
dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan,
dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari
pendapatan mereka yang besar”. (Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una
al-Iqtishadiyyah)
Pandangan ini setidaknya didasari atas dua alasan.
Pertama adalah keumumam firman Allah swt:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ --
البقرة:267
“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 267)
Alasan kedua adalah, secara rasional, Islam telah
mewajibkan zakat atas petani. Jika petani saja yang penghasilannya lebih rendah
dari mereka diwajibkan zakat, apalagi mereka yang penghasilannya lebih tinggi
dari petani.
Adapun Syaikh
Yusuf al Qaradlawi berpendapat bahwa
gaji atau pendapatan yang diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian
profesional tertentu yang halal wajib dizakati. Hal ini disamakan dengan zakat
al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh seorang muslim melalui satu jenis
proses kepemilikan yang baru dan halal).
فَالتَّكْيِيْفُ
الفِقْهِيُّ الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ أَنَّهُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ --يوسف
القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 490
“Zakat diambil dari gaji atau sejenisnya. Sedang cantolan
fiqhnya yang sahih terhadap penghasilan ini adalah mal mustafad (harta perolehan)”
(Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu`assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393
H/1983 M, juz, 1, h. 490)
Berdasarkan Musyawarah
Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H
bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta
Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat memutuskan sebagai berikut:
· Zakat
Profesi
a. Zakat Profesi hukumnya wajib.
b. Nisab Zakat Profesi setara dengan 85
gram emas 24 karat
c. Kadar Zakat Profesi sebesar 2,5 %
· Zakat
Lembaga
a. Lembaga
adalah badan yang memiliki hak dan kewajiban serta dapat memiliki kekayaan.
b. Kekayaan yang
dimiliki lembaga wajib dikeluarkan zakatnya jika lembaga bersangkutan melakukan
usaha yang mendatangkan keuntungan atau hasil, dan kekayaannya mencapai nisab.
c. Nisab dan
kadar zakat lembaga disesuaikan dengan jenis usaha yang dilakukan.
· Mengusulkan:
a. Agar PP
Muhammadiyah mengusulkan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan ketentuan yang
mempertegas bahwa segala sengketa dalam pengelolaan zakat diselesaikan melalui
Pengadilan Agama, sesuai dengan Undang-undang No 7 Th. 1989 tentang Peradilan
Agama pasal 49
b. Pembentukan
seksi baru pada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang membidangi
masalah hukum dan perundang-undangan.
c. Pengadaan pelatihan
tentang pengelolaan zakat.
E.
Contoh
perhitungan zakat profesi[14]
Laporan Rugi –
Laba Praktek Dokter
Untuk Tahun
yang berakhir 31 Desember 2001
Pendapatan dari
praktek Rp.
135.000.000
Biaya
Operasional:
Gaji Pegawai Rp.
23.000.000
Biaya
perlengkapan Rp. 4.500.000
Biaya
Penyusutan peralatan Rp.
12.000.000
Biaya
Transportasi Rp. 6.000.000
Biaya Lain-lain Rp. 3.000.000
Total Biaya Rp.
49.000.000 -
Pendapatan
Bersih Rp.
86.000.000
Zakat profesi =
Rp. 86.000.000 x 2,5%
= Rp.
2.125.000
F.
Permasalahan
seputar zakat profesi
1.
Status
hukum zakat profesi
Sejak
pertama bergulir diskursus zakat profesi ini, respon ulama bermacam-macam.
Sebagian menerima, dan tidak sedikit pula yang menolak. Diantara yang menolak
kebanyakan beralasan bahwa zakat profesi tidak pernah disebut oleh ulama
mutaqaddimin. Mereka beralasan bahwa praktek kerja professional sudah
berlangsung sejak awal munculnya Islam akan tetapi ulama mutaqaddimin tidak
memasukan penghasilan dari profesi sebagai harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
Syaikh
Wahbah al Zuhaili hanya menyebut 5 jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya,
yakni: mata uang (koin emas, koin perak, atau uang kertas), barang tambang
(emas dan perak) dan harta peninggalan orang jahiliyah (rikaz), barang
dagangan (‘urudl al tijarah), pertanian/buah-buahan (al
zuru’ wa al tsimar), dan binatang ternak (al
an’am).[15]
Walaupun pada akhir pembahasan dalam bab zakat beliau sedikit membahas tentang
zakat profesi, akan tetapi beliau hanya me-nuqil dari kitab al zakah-nya
al Qardlawi. Tidak ada pandangan dari diri beliau sendiri. Hal ini mungkin
karena beliau sendiri menamai kitabnya ini sebagai mausu’ah
(ensiklopedi) sehingga meniscayakan untuk memuat informasi apapun yang
berkaitan dengan bab yang sedang dibahas.
Abu Syuja
sebagai ulama yang menjadi rujukan ulama
syafi’iyah dalam bidang fikih madzhab syafi’i dalam matan ghayah wa
al taqrib juga hanya menyebut 5 jenis harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya, yakni: al mawasyi (unta, sapi, dan domba), al
atsman (emas dan perak), al zuru’ (pertanian), al tsimar
(buah kurma dan buah anggur), dan urudl al tijarah (barang
dagangan).[16]
Begitu pula dalam al Fiqh ‘ala al Madzahib al arba’ah, Syaikh
Abdurrahman al jazairi menyebut 5 jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya
tersebut dengan kalimat penutup:
“لا
زكاة فيما عدا هذه الأنواع الخمسة”. (Tidak ada zakat pada selain 5 jenis harta
tersebut)
Salah
satu pertimbangan yang dipakai ulama mutaqaddimin sehingga tidak
memasukkan penghasilan profesi dalam kategori harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya boleh jadi karena, implikasi dari yang menunaikannya dan tidak menunaikannya
cukup serius dalam pandangan islam. Ketika penghasilan profesi sudah disebut
sebagai harta yang wajib dikeluarkan zakatnya maka hal itu berarti orang yang
tidak menunaikannya akan disebut sebagai seorang muslim yang tidak melaksanakan
salah satu rukun islam. Dalam pembahasan aqidah, sebagian ulama bahkan menghukumi
orang yang tidak menunaikan zakat ini sebagai seorang yang fasiq bahkan kafir.
Syaikh
Wahbah al Zuhaili secara tegas menyebut ancaman bagi seorang muslim yang tidak
menunaikan zakat akan mendapatkan hukuman di dunia dan akhirat. Di dunia,
apabila ia meyakini bahwa syari’at zakat adalah sesuatu yang tidak wajib maka
dia dikategorikan sebagai orang yang kafir dan harus diperangi sebagaimana
orang yang murtad. Apabila dia meyakini bahwa syariat zakat adalah sesuatu yang
wajib akan tetapi dia membohongi Allah dan Rasulnya (tidak menunaikannya) maka
dia dihukumi sebagai orang yang kafir. Dan di akhirat, dia akan mendapatkan
adzab yang pedih.[17]
Dari
sini tidak mengherankan, ketika dalam pendefinisian zakat, ulama malikiyah mensiratkan
penekanan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus memenuhi
syarat-syarat yang cukup tertentu. Hal ini bermakna, ulama malikiyah sebelum
berfatwa tentang kewajiban zakat yang akan dibebankan kepada seorang muslim akan
benar-benar mempertimbangkan syarat-syarat harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya. Sehingga, ulama diharapkan untuk tidak membebankan kewajiban kepada
umat sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban. Karena mewajibkan
sesuatu yang sebenarnya tidak wajib adalah merupakan kedzoliman. Hal ini lah
yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah mengenai hukum shalat tarawih. Beliau
khawatir seandainya shalat tarawih yang sebenarnya sunnah akan dianggap wajib
oleh ummat.
2.
Ta’jil al zakah qabla al haul dan nishab
Terkait
dengan pemotongan gaji yang belum mencapai nishab dan belum 1 haul terdapat dua
pendapat:[18]
a.
Boleh.
Menurut jumhur al ulama, pemilik harta yang telah mencapai nishab boleh men-ta’jil-kan
zakatnya sebelum sampai 1 haul. Hal ini karena, pada hakikatnya ia membayarkan
zakatnya setelah adanya sebab yang telah mewajibkannya zakat. Contoh dalam
kasus ini adalah zakat pada hutang yang di-ta’jil-kan dan pembayaran
diyat al khatha’. Ulama syafi’iyah menyebut 2 syarat yang membolehkan ta’jil
zakat ini, yakni: pertama, kepastian pemilik harta tersebut adalah orang yang
wajib zakat pada akhir tahun (haul) pada tahun (haul) tersebut. Dan
juga masuknya bulan syawal pada zakat fitrah.[19]
Kedua, penerima zakat tersebut pada akhir haul adalah orang yang berhak
menerima zakat. Apabila dua syarat tersebut gugur, maka tertolak dari
penerimanya jika penerima zakat tersebut tahu bahwa pembayaran zakat tersebut
adalah zakat yang di-ta’jil-kan. Seperti apabila pemilik harta atau
penerima zakatnya meninggal atau murtad sebelum akhir haul, berkurang dari
nishab ketika akhir haul, atau hilang kepemilikan atas harta pada akhir haul,
maka pen-ta’jil-an zakat tidak diperbolehkan karena dia telah keluar/gugur
dari kewajiban zakat.
b.
Tidak
boleh. Menurut ulama dzahiriyah dan ulama malikiyah, tidak diperbolehkan ta’jil
zakat sebelum haul karena zakat adalah ibadah sebagaimana shalat yang tidak
diperbolehkan menunaikannya sebelum waktunya. Karena haul dan nishab
adalah merupakan syarat-syarat wajib zakat, maka zakat tidak boleh di-ta’jil-kan.
3.
Peng-qiyas-an
zakat profesi dengan zakat al mal al mustafad dan zakat pertanian
a.
Meng-qiyaskan
dengan al maal al mustafad (harta perolehan)
Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta
baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang
disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya.[20]
Dalam hal ini Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu
Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri,
dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal
al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun
qamariyah).[21]
Selain
itu, Peng-qiyas-an zakat profesi dengan al maal al mustafad ini,
menurut al Qardlawi sesuai dengan pendapat Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu
Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf yang menyatakan bahwa pada dasarnya, mengenai
zakat penghasilan dan profesi tidak ditemukan contohnya dalam fikih, selain
masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Imam Ahmad Bin Hanbal. Ia
dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan
mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib
mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu
pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya
bila sudah mencapai satu nisab. Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita
tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak
mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di
pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat
sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.[22]
Selain
itu, pendapat tentang peng-qiyas-an zakat profesi ini dengan al maal
al mustafad juga didukung dengan hadits dari Abu Ubaid. Ia meriwayatkan
dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia
mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya." Demikian pula
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut shahih dari
Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan tidak adanya
ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari
perkataan Ibnu Abbas.
Namun
demikian, al Qardlawi berbeda pendapat dengan penafsiran Abu Ubaid mengenai
hadits dari Ibnu Abbas tersebut. Abu Ubaid berpendapat bahwa yang dimaksud penghasilan
dalam hadits tersebut adalah emas dan perak, sedangkan menurut al Qardlawi
bahwa yang dimaksud penghasilan dalam hadits itu adalah zakat tanah, karena
penduduk Madinah menamakan tanah harta benda.[23]
b.
Peng-qiyas-an
zakat profesi dengan zakat pertanian
Ulama yang berpendapat bahwa zakat
profesi ini bisa di-qiyas-kan dengan zakat pertanian adalah Syaikh
Muhammad al Ghazali. Syaikh al qaradlawi menuliskan pendapat beliau ini dalam
buku fiqh al zakah:
“Dasar penetapan wajib zakat dalam Islam hanyalah modal,
bertambah, berkurang atau tetap, setelah lewat setahun, seperti zakat uang, dan
perdagangan yang zakatnya seperempat puluh, atau atas dasar ukuran penghasilan
tanpa melihat modalnya seperti zakat pertanian dan buah buahan yang zakatnya
sepersepuluh atau seperdua puluh. maka beliau mengatakan; "Dari sini kita
mengambil kesimpulan, bahwa siapa yang mempunyai pendapatan tidak kurang dari
pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat
yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali
keadaan modal dan persyaratan- persyaratannya. "Berdasarkan hal itu,
seorang dokter, advokat, insinyur, pengusaha, pekerja, karyawan, pegawai, dan
sebangsanya wajib mengeluarkan zakat dari pendapatannya yang besar.”[24]
Adapun
dalil yang digunakan oleh Syaikh Muhammad al Ghazali dalam hal ini antara lain:
1)
Keumuman
nash al Quran: "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian
hasil yang kalian peroleh." (QS. al-Baqarah: 267)
Tidak
perlu diragukan lagi bahwa jenis-jenis pendapatan di atas termasuk hasil yang
wajib dikeluarkan zakatnya, yang dengan demikian mereka masuk dalam hitungan
orang-orang Mu'min yang disebutkan Quran: "Yaitu orang-orang yang
percaya kepada yang ghaib, mendirikan salat, serta mengeluarkan sebagian yang
kami berikan." (QS. al-Baqarah: 3).
2)
Islam
tidak memiliki konsepsi mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddan
(1 faddan = 1/2 ha). Sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan
lima puluh faddan tidak mewajibkannya, atau tidak mewajibkan seorang dokter
yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun
dari tanahnya yang atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika mencapai
nisab. Untuk itu, harus ada ukuran wajib zakat atas semua kaum profesi, dan
pekerja tersebut, dan selama sebab (illat) dari dua hal memungkinkan
diambil hukum qias, maka tidak benar untuk tidak memberlakukan qias tersebut
dan tidak meneriina hasilnya.
4.
Nishab dan Haul zakat profesi
Menurut
ijma’ ulama, merupakan syarat wajib zakat adalah harta yang dimiliki telah
mencapai nishab. Tidak diwajibkan kepada seorang muslim untuk
mengeluarkan zakat kecuali apabila harta miliknya telah mencapai nishab.
Nishab adalah sesuatu (kadar) yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai
tanda telah wajibnya dikeluarkan zakat, baik dari emas dan perak maupun lainnya.[25]
Dalam
definisi nishab ini bahkan Al Qardlawi mensyaratkan untuk harta yang telah
mencapai nishab tersebut bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok
pemiliknya. Hal itu karena berdasarkan al qur’an, yang dituntut untuk berzakat
hanyalah seorang muslim yang tergolong seorang kaya. Kaya di sini berkaitan
dengan arti "lebih" ('afw) yang dijadikan Quran sebagai
sasaran zakat tersebut. Allah berfirman "Mereka bertanya kepadamu tentang
apa yang mereka nafkahkan Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan."
(al-Baqarah: 219). Dan Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kewajiban zakat hanya
bagi orang kaya." "Mulailah dari orang yang menjadi
tanggunganmu."[26]
Adapun tentang kriteria kaya, tentunya disetiap daerah memiliki ukuran yang
berbeda-beda. Bisa jadi seseorang disebut kaya di kampung, tapi belum termasuk
kategori kaya di kota.
Mengenai
Nishab zakat profesi ini, Muhammad Ghazali cenderung untuk mengukurnya
menurut ukuran tanaman dan buah-buahan. Siapa yang memiliki pendapatan tidak
kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat maka orang
itu wajib mengeluarkan zakatnya. Artinya, siapa yang mempunyai pendapatan yang
mencapai lima wasaq (50 kail Mesir) atau 653 kg, dari yang terendah nilainya
yang dihasilkan tanah seperti gandum, wajib berzakat. Menurutnya, ini adalah pendapat
yang benar. Tetapi barangkali pembuat syariat mempunyai maksud tertentu dalam menentukan
nisab tanaman kecil, karena tanaman merupakan penentu kehidupan manusia. Yang
paling penting dari besar nisab tersebut adalah bahwa nisab uang diukur dari
nisab tersebut yang telah kita tetapkan sebesar nilai 85 gram emas. Besar itu
sama dengan dua puluh misqal hasil pertanian yang disebutkan oleh banyak hadis.
Banyak orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling
baik adalah menetapkan nisab gaji itu berdasarkan nisab.[27]
G.
Penutup
Sebagai penutup makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
permasalahan mengenai zakat profesi yang belum sempat tulis dalam makalah ini.
Hal itu lebih banyak dikarenakan antara lain karena keterbatasan penulis
pribadi dari sisi keilmuan dan terbatasnya referensi yang penulis miliki.
Pada akhirnya, ungkapan: “Tiada gading yang tak retak”
sangat tepat disematkan untuk makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran akan
sangat diharapkan demi terus tambahnya ilmu pengetahuan penulis. Wallahu
a’lam bi al shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman al Jazairi, al fiqh ‘ala madzahib al arba’ah
(Kairo: Dar al Hadits, 2004), Juz. I
al Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah Mausu’ah al Fiqh al Islamy wa al
qadlaya al Mu’ashirah (Damaskus: Dar al Fikr, 2010), Juz. II
al Qardlawi, Dr. Yusuf Fiqh al Zakah: Dirasah Muqaranah
Li ahkamiha wa Falsafatiha Fi Dlau’I al Qur’an wa al sunnah (Beirut:
Muassasah al Risalah, 1973), Juz. I.
Drs. Mursyidi, Akuntansi
Zakat Kontemporer (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-3, hlm.
158.
Fatwa
MUI Nomor 3 Tahun 2003
Dr. Musthafa Daib al Bagha, al tadzhib fi adillah matn al ghayah
wa al taqrib, Cet. I (Jedah: al Haramain li al thaba’ah wa al nasyr wa al
tauzi’, 1978)
Keputusan
Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah tanggal 5 – 8 Juli 2000 M di Pondok
Gede Jakarta Timur
http://www.nu.or.id/post/read/51798/fasal-zakat-profesi,
akses 10 Maret 2016 pukul 09:40.
http://www.lazisnu.or.id/konsultasi/pdf/seputar-zakat/1, akses 10 Maret 2016 pukul 09:45.
[1] Wahbah
al Zuhaili, Mausu’ah al Fiqh al Islamy wa al qadlaya al Mu’ashirah
(Damaskus: Dar al Fikr, 2010), Juz. II, hlm.642.
[2] Ibid.,
hlm. .642-643
[3]
Abdurrahman al Jazairi, al fiqh ‘ala madzahib al
arba’ah (Kairo: Dar al Hadits, 2004), Juz. I, hlm. 457.
[4]
Wahbah al zuhaili, Op.Cit, hlm. 651.
[5]
Abdurrahman al Jazairi dalam “al Fiqh ‘ala al madzahib al ‘arba’ah”
menyebut bahwa tidak ada zakat selain dari 5 jenis harta yang wajib dizakati
tersebut. (lihat: Abdurrahman al Jazairi, al Fiqh ‘ala al madzahib al
‘arba’ah(Kairo: Dar al Hadits, 2004), Juz. I, hlm. 462)
[6] Ibid.,
hlm. 459.
[7] Dr.
Musthafa Daib al Bugha, al Tadzhib Fi Adillah Matni al Ghayah Wa al Taqrib
( Jeddah: Al Haramain Li al Thaba’ah Wa al Nashr wa al tauzi’, 1978), Cet. I,
hlm. 93-96)
[8] Dr.
Yusuf al Qardlawi, Fiqh al Zakah: Dirasah Muqaranah Li ahkamiha wa
Falsafatiha Fi Dlau’I al Qur’an wa al sunnah (Beirut: Muassasah al
Risalah, 1973), Juz. I, hlm..489.
[9] Ibid.,
hlm.487.
[10] Ibid.,
hlm. 513.
[11]
Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan
[12] http://www.nu.or.id/post/read/51798/fasal-zakat-profesi,
akses 10 Maret 2016 pukul 09:40. Silahkan baca juga di: http://www.lazisnu.or.id/konsultasi/pdf/seputar-zakat/1
[13]
Keputusan
Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah tanggal 5 – 8 Juli 2000 M di Pondok
Gede Jakarta Timur
[14]
Drs. Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-3, hlm. 158.
[15]
Wahbah al zuhaili, Op. Cit., Juz. 2, hlm. 668.
[16] Dr.
Musthafa Dlaib al Bagha, Op.Cit., hlm. 90-92.
[17]
Wahbah al Zuhaili, Op.Cit, hlm. 646-647.
[18]
Wahbah al zuhaili, Op.Cit., hlm. 665-666.
[19]
Walaupun waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah setelah shubuh tanggal 1
syawal dan sebelum dilaksanakannya shalat ‘id, akan tetapi pembayaran zakat
sebelum waktu itu juga diperbolehkan.
[20] Dr.
Yusuf al Qardlawi, Op.Cit., hlm. .490
[21]
Wahbah al Zuhaili, Op.Cit., hlm. 776.
[22] Dr.
Yusuf al Qardlawi, Op.Cit., hlm. 490.
[23] Ibid.,
hlm. .499
[24] Ibid.,
hlm. 510-511.
[25] Abdurrahman al Jazairi, Op.Cit., hlm. 459.
[26] Dr.
Yusuf al Qardlawi, Op.Cit., hlm.. 513
[27] Ibid.,
hlm. 513-514.
Comments
Post a Comment