Makalah Zakat profesi

KHILAFIAH DALAM BEBERAPA FATWA
MENGENAI
KEWAJIBAN MENGELUARKAN ZAKAT PROFESI
A.      Pendahuluan
Diskursus mengenai zakat profesi sebenarnya masih merupakan hal yang masih baru –khususnya- di Indonesia. Di kalangan ulama Indonesia sendiri mengenai status hukum zakat profesi masih terjadi perbedaan pendapat. Beberapa ormas islam besar seperti NU, Muhammadiyah, persis, MUI, dan lain-lainnya memang telah mengeluarkan fatwa tentang wajibnya umat Islam membayar zakat profesi bagi yang telah memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi, dalam prakteknya pelaksanaan/ penunaian zakat profesi oleh umat islam yang berada di bawah naungan ormas-ormas tersebut seperti masih setengah hati.
Barang kali karena pewajiban zakat profesi ini yang masih mengandung dugaan tercampur dengan kepentingan politik atau terkesan adanya pemaksaan dalil sehingga kurang mendapat respon dari umat. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab akademik para akademisi kampus, khususnya akademisi dalam ilmu hukum islam untuk mempertajam analisa fatwa mengenai zakat profesi ini sehingga dapat meyakinkan masyarakat.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, penulis bermaksud sedikit mengulas mengenai permasalahan-permasalahan dalam zakat profesi.

B.       Konsep Zakat Dalam Literatur Fikih
1.    Pengertian zakat
Istilah Zakat sendiri menurut bahasa adalah النمو و الزيادة (tumbuh/berkembang dan bertambah seperti dalam kalimat زكا الزرع (tanaman bertumbuh/berkembang). Terkadang zakat bermakna الطهارة (suci) seperti dalam al Qur’an: قد أفلح من زكاها  (QS. Al Syams: 9) yakni طهرها عن الأدناس  (mensucikan dari kotoran-kotoran). Terkadang zakat bermakna المدح (pujian) seperti dalam al Qur’an:  فلا تزكوا أنفسكم (QS. Al Najm: 32). Terkadang zakat juga bermakna زيادة الخير (bertambah kebaikannya) seperti dalam kalimat رجل زكي (lelaki yang bertambah kebaikannya.[1]
Sedangkan menurut istilah syara’, ulama mendefinisikan zakat dalam redaksi kalimat yang berbeda-beda. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: mengeluarkan satu bagian tertentu dari harta yang telah mencapai nishab kepada penerimanya apabila kepemilikan harta tersebut sempurna (تم الملك),  telah berlangsung 1 haul, bukan barang tambang atau tanah yang sedang digarap( غير معدن وحرث). Ulama hanafiyah mendefinisikan zakat sebagai: memberikan kepemilikan sebagian harta tertentu )تمليك ج جزء مال مخصوص), dari harta tertentu  (من مال مخصوص), kepada orang tertentu, yang telah ditentukan oleh pemilik syariat (Allah) karena Allah Ta’ala (عينه الشارع لوجه الله تعالي) . Menurut ulama syafi’iyah, definisi zakat adalah: sebuah nama untuk sesuatu yang dikeluarkan bagi harta dan badan dengan cara tertentu (اسم لما يخرج عن مال وبدن علي وجه مخصوص). Sedangkan menurut ulama hanabilah, zakat adalah: suatu hak yang wajib dalam harta tertentu bagi golongan tertentu pada waktu tertentu (حق واجب في مال مخصوص لطائفة مخصوصة في وقت مخصوص).[2]
2.    Hukum zakat dan dalilnya
Zakat adalah salah satu dari rukun islam yang lima. Menunaikan zakat hukumnya fardluain bagi setiap orang yang telah terpenuhi syarat-syaratnya. Dalil atas wajibnya zakat bisa ditemui dalam al qur’an, al Sunnah, dan Ijma.[3]
Dalil dalam al Quran terdapat dalam beberapa surah, antara lain:
a)         Surah al Nur: 56
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ  
“dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat”.

b)        Surah al Ma’arij: 24-25)
šúïÉ©9$#ur þÎû öNÏlÎ;ºuqøBr& A,ym ×Pqè=÷è¨B ÇËÍÈ   È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãósyJø9$#ur ÇËÎÈ  
(24)dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu”,
(25) “bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”,

Dalil dalam al Sunnah antara lain:
عن سالم بن عامر قال: سمعت أبا أمامة يقول: سمعت رسول الله صلي الله عليه و سلم يخطب في حجة الوداع فقال: اتقوا الله, وصلوا خمسكم, وصوموا شهركم, وأدوا زكاة أموالكم وأطيعوا ذا أمركم, تدخلوا جنة ربكم. (رواه الترمذي)
“dari Salim bin Amir, ia berkata: aku mendengar Abu Umamah berkata: aku mendengar Rasulullah SAW berkhutbah pada saat haji wada’. Beliau bersabda:  Bertaqwalah kepada Allah, shalatlah 5 (waktu) kalian, berpuasalah pada bulan kalian (bulan Ramadhan), tunaikanlah zakat harta kalian, dan taatilah pemerintah kalian, maka kalian akan masuk surga Tuhan kalian”. (HR. Turmudzi)

     Adapun menurut ijma’, umat telah bersepakat bahwa zakat termasuk rukun Islam dengan syarat yanh khusus.

3.    Syarat wajib zakat
Syaikh Wahbah al Zuhaili dalam kitab mausu’ah al fiqh al islamy wa al qadlaya al mu’ashirahnya menyebut beberapa syarat wajib zakat, antara lain: [4]
a)    Merdeka
b)   Islam
c)    Baligh dan berakal
Menurut Jumhur ‘ulama, seseorang yang diwajibkan berzakat tidak disyaratkan harus baligh dan berakal, anak kecil maupun orang gila tetap diwajibkan berzakat. Adapun yang wajib mengeluarkan zakatnya adalah wali dari anak kecil dan orang gila tersebut.
d)   Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya tersebut adalah salah satu dari 5 kategori:[5]
1)         2 koin mata uang (dinar dan dirham) atau sejenisnya
2)         Barang tambang (ma’din) dan harta karun peninggalan jahiliyah (rikaz)
3)         Barang dagangan (‘urudl al tijarah)
4)         Pertanian (al zuru’) dan buah-buahan (al tsimar), dan
5)         Hewan ternak yang dibudidayakan (al an’am al ahliyah).
e)    Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya tersebut telah mencapai nishab atau nilainya sama dengan nishab
f)    Milik sempurna
g)   Telah dimiliki selama 1 haul menurut perhitungan tahun qamariyah

4.    Nishab zakat
Nishab adalah sesuatu (kadar) yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai tanda telah wajibnya dikeluarkan zakat, baik dari emas dan perak maupun lainnya.[6] Nishab untuk setiap jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya berbeda-beda ketentuannya menurut fikih. Secara ringkas, Al Imam Abu Syuja’ menguraikan tentang ketentuan nishab zakat berdasarkan jenis-jenis hartanya sebagai berikut:[7]
a)    Binatang ternak
1)   Unta
Jika memiliki 5 unta, maka zakatnya adalah 1 syah (domba/kambing). 10 unta zakatnya 2 syah. 15 unta zakatnya 3 syah. 20 unta zakatnya 4 syah. 25 unta zakatnya 1 bintu makhadl (unta umur 1 tahun menginjak 2 tahun). 36 unta zakatnya 1 bintu labun (unta umur 2 tahun menginjak 3 tahun). 46 unta zakatnya 1 hiqqah (unta umur 3 tahun menginjak 4 tahun). 61 unta zakatnya 1 jadza’ah (unta umur 4 tahun menginjak 5 tahun). 76 unta zakatnya 2 bintu labun. 91 unta zakatnya 2 hiqqah. 121 unta zakatnya 3 bintu labun. Kemudia setiap pertambahan 40 unta zakatnya 6 bintu labun dan setiap pertambahan 50 unta zakatnya 50 hiqqah.

2)   Sapi
30 sapi zakatnya 1 tabi’ (sapi umur 1 tahun menginjak 2 tahun). 40 sapi zakatnya 1 musinnah (sapi umur 2 tahun menginjak 3 tahun). Untuk seterusnya, bisa dianalogikan ke hitungan tersebut.

3)   Domba/kambing
40 domba/kambing zakatnya 1 domba syah jadza’ah (domba yang telah sempurna berumur 1 tahun menginjak 2 tahun) atau 1 kambing kacang tsaniyyah (kambing kacang yang telah berumur 2 tahun menginjak 3 tahun).

b)   Emas dan perak
Nishab emas adalah 20 mitsqal/dinar. Zakat untuk emas dan perak adalah rub’ alusyr (2,5%), sepadan dengan setengah mitsqal atau 5 dirham.

c)    Pertanian dan buah-buahan
Nishab Pertanian dan buah-buahan adalah 5 wasaq yakni 1600 rithl Iraq (sekitar 715 kg). adapun zakatnya, apabila dalam pengairannya memerlukan treatment yang berbiaya maka 5%. Apabila tidak memerlukan treatment yang berbiaya maka 10%.

C.       Pengertian Zakat profesi
Adapun istilah zakat profesi sebenarnya adalah istilah yang relatif baru dalam khazanah ilmu fikih. Menurut al Qardlawi, Istilah zakat profesi ini pertama kali dikemukakan oleh guru-gurunya seperti Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf dalam ceramah-ceramah mereka tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952. Dalam ceramah-ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa penghasilan dari pekerjaan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab.[8]
Istilah zakat profesi ini mulai popular setelah diterbitkannya disertasi al Qardlawi yang berjudul “فقه الزكاة: دراسة مقارنة لاحكامها و فلسفتها في ضوء القرآن و السنة” (Studi komparatif mengenai status hukum dan filosofi zakat berdasarkan al Qur’an dan al Sunnah). Dalam penelitian disertasinya tersebut, Al Qardlawi tidak menyebut istilah zakat profesi secara eksplisit, akan tetapi ia membahas pengertiannya secara jelas dalam bab زكاة كسب العمل والمهن الحرة (Zakat pekerjaan dan wiraswasta). Dalam bab زكاة كسب العمل والمهن الحرة ini al Qardlawi membagi pekerjaan yang dilakukan orang yang dapat mendatangkan penghasilan bagi yang melakukannya menjadi dua macam, yakni: [9]
1.         Seorang yang bekerja langsung untuk dirinya sendiri tanpa harus tunduk kepada pihak lain, baik dengan menggunakan tangan atau otak/akal. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan professional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.
2.         Pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan berkat ketrampilan tangan, otak, ataupun kedua- duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Kesimpulan al Qardlawi mengenai zakat profesi ini adalah wajib. Alasan diwajibkannya zakat profesi ini karena Islam pada dasarnya tidak mewajibkan zakat atas harta berdasarkan sedikit atau banyaknya, akan tetapi zakat diwajibkan atas harta benda yang telah mencapai nishab, bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Hal ini lah yang menetapkan siapa yang tergolong kaya yang wajib zakat sebagaimana disebut dalam al Qur’an (al Baqarah: 219) dan hadits Rasulullah SAW: “kewajiban hanya bagi orang kaya”.[10]

D.      Beberapa Fatwa tentang zakat profesi
1.         Menurut MUI[11]
Berdasarkan Fatwa MUI nomor 3 Tahun 2003 tentang zakat penghasilan, yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupub tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
Berdasarkan fatwa tersebut, semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram.  Adapun landasan dalil yang dipakai adalah sebagai berikut:
a.    Al Quran
1)   $ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al Baqarah: 267)
2)   * y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs? ÇËÊÒÈ  
“mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (QS. Al Baqarah: 219),

3)   öqs9ur óOßg¯Rr& (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur ×pt/qèVyJs9 ô`ÏiB ÏYÏã «!$# ׎öyz ( öq©9 (#qçR%x. šcqßJn=ôètƒ ÇÊÉÌÈ  
“Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui” (QS. Al Taubah: 103).

b.    Al Hadits
1)        روي مرفوعا من حديث ابن عمر عن النبي صلي الله عليه وسلم انه قال: لا زكاة في مال حتي يحول عليه الحول
Diriwayatkan secara marfu’ hadits Ibn Umar, dari Nabi SAW beliau bersabda: tidak ada zakat pada harta sampai berputar selama 1 tahun

2)        عن ابي هريرة ان النبي صلي الله عليه وسلم قال: ليس علي المسلم في عبده ولا فرسه صدقة (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya”. (HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini menjadi dalil bahwa harta Qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat.

3)        عن حكيم ابن حزام رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: اليد العليا خير من اليد السفلي وابدأ بمن تعول وخير الصدقة عن ظهر غني ومن يستعفف يعفه الله ومن يستغن يغنه الله (رواه البخاري)
Dari Hakim Bin Hizam RA, Nabi SAW bersabda: Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Mulailah (menyedekahkan harta) kepada orang yang menjadi tanggungjawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barang siapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah akan menjaganya. Barang siapa berusaha mencukupi diri, Allah akan memberinya kecukupan. (HR. al Bukhari)

4)        عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: انما الصدقة عن ظهر غني و اليد العليا خير من اليد السفلي وابدأ بمن تعول (رواه أحمد)
“Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Sedekah hanyalah dikeluarkan dari kelebihan/kebutuhan. Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu”(HR. Ahmad).

c.    Qaul Ulama
من المعلوم أنّ الاسلام لم يوجب الزكاة في كل مال قل أو كثر, وانما أوجب فيما بلغ نصابا فارغا من الدين وفاضلا عن الحاجات الأصلية المالكية, وذالك ليتحقق معني الغني الموجب للزكاة
Al Qardlawi menilai zakat profesi ini adalah wajib karena Islam pada dasarnya tidak mewajibkan zakat atas harta berdasarkan sedikit atau banyaknya, akan tetapi zakat diwajibkan atas harta benda yang telah mencapai nishab, bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Hal ini lah yang menetapkan siapa yang tergolong kaya yang wajib zakat sebagaimana disebut dalam al Qur’an (al Baqarah: 219) dan hadits Rasulullah SAW: “kewajiban hanya bagi orang kaya”
2.         Menurut Nahdlatul Ulama
Dari NU penulis tidak menjumpai fatwa yang dikeluarkan langsung oleh Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU), akan tetapi dalam laman situs resmi Nahdlatul Ulama penulis menemukan satu tulisan mengenai zakat profesi ini dalam rubrik Tanya-jawab. Menurut pengasuh rubrik Tanya jawab tersebut, ketentuan mengenai zakat profesi adalah sebagai berikut:[12]
a)      Hukum zakat profesi
“Jika pendapatan bersih seorang pekerja selama setahun seperti dokter atau karyawan sebuah perusahaan atau pegawai pemerintahan mencapai nishab yang telah ditentukan maka ia wajib mengeluarkan zakatnya. Sedang zakatnya dikeluarkan ketika menerima pendapatan tersebut. Contohnya jika seseorang selama setahun memperoleh pendapatan bersih sekitar 48 juta, dengan asumsi ia menerima pendapatan bersih setiap bulan 4 juta. Maka ia harus mengeluarkan zakat setiap bulannya 2,5 % dari 4 juta tersebut, yaitu sebesar 100 ribu. Jadi selama setahun ia mengeluarkan zakat sebesar 1,2 juta.”

b)      Landasan dalil
Referensi yang dipakai dalam pewajiban zakat profesi di sini antara lain dengan mengutip pendapat dari 2 ulama muta’akhirin yakni Syaikh Muhammad al Ghazali dan Syaikh Yusuf al Qaradlawi.
Syaikh Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya pertanian.
إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً؛ فَالطَّبِيْبُ، وَالْمَحَامِي، وَالْمُهَنْدِسُ، وَالصَّانِعُ، وَطَوَائِفُ الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ --محمد الغزالي، الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية، مصر-دار النهضة، الطبعة الأولى، ج، 1، ص. 118 

“Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan, dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan mereka yang besar”. (Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una al-Iqtishadiyyah)
Pandangan ini setidaknya didasari atas dua alasan. Pertama adalah keumumam firman Allah swt:
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ -- البقرة:267
“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 267)
Alasan kedua adalah, secara rasional, Islam telah mewajibkan zakat atas petani. Jika petani saja yang penghasilannya lebih rendah dari mereka diwajibkan zakat, apalagi mereka yang penghasilannya lebih tinggi dari petani. 
Adapun Syaikh Yusuf al Qaradlawi berpendapat bahwa gaji atau pendapatan yang diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu yang halal wajib dizakati. Hal ini disamakan dengan zakat al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh seorang muslim melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal).
فَالتَّكْيِيْفُ الفِقْهِيُّ الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ أَنَّهُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ --يوسف القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 490
“Zakat diambil dari gaji atau sejenisnya. Sedang cantolan fiqhnya yang sahih terhadap penghasilan ini adalah mal mustafad (harta perolehan)” (Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu`assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 490)

3.         Menurut Muhammadiyah[13]
Berdasarkan Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat memutuskan sebagai berikut:
·      Zakat Profesi
a. Zakat Profesi hukumnya wajib.
b. Nisab Zakat Profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat
c. Kadar Zakat Profesi sebesar 2,5 %

·      Zakat Lembaga
a. Lembaga adalah badan yang memiliki hak dan kewajiban serta dapat memiliki kekayaan.
b. Kekayaan yang dimiliki lembaga wajib dikeluarkan zakatnya jika lembaga bersangkutan melakukan usaha yang mendatangkan keuntungan atau hasil, dan kekayaannya mencapai nisab.
c. Nisab dan kadar zakat lembaga disesuaikan dengan jenis usaha yang dilakukan.

·      Mengusulkan:
a. Agar PP Muhammadiyah mengusulkan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan ketentuan yang mempertegas bahwa segala sengketa dalam pengelolaan zakat diselesaikan melalui Pengadilan Agama, sesuai dengan Undang-undang No 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49
b. Pembentukan seksi baru pada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang membidangi masalah hukum dan perundang-undangan.
c. Pengadaan pelatihan tentang pengelolaan zakat.

E.       Contoh perhitungan zakat profesi[14]
Laporan Rugi – Laba Praktek Dokter
Untuk Tahun yang berakhir 31 Desember 2001
 


Pendapatan dari praktek                                                                          Rp. 135.000.000
Biaya Operasional:
Gaji Pegawai                                            Rp. 23.000.000
Biaya perlengkapan                                  Rp.   4.500.000
Biaya Penyusutan peralatan                     Rp. 12.000.000
Biaya Transportasi                                   Rp.   6.000.000
Biaya Lain-lain                                         Rp.   3.000.000
Total Biaya                                                                                               Rp. 49.000.000 -
Pendapatan Bersih                                                                                   Rp. 86.000.000

Zakat profesi = Rp. 86.000.000 x 2,5%
                     = Rp.   2.125.000

F.        Permasalahan seputar zakat profesi
1.         Status hukum zakat profesi
Sejak pertama bergulir diskursus zakat profesi ini, respon ulama bermacam-macam. Sebagian menerima, dan tidak sedikit pula yang menolak. Diantara yang menolak kebanyakan beralasan bahwa zakat profesi tidak pernah disebut oleh ulama mutaqaddimin. Mereka beralasan bahwa praktek kerja professional sudah berlangsung sejak awal munculnya Islam akan tetapi ulama mutaqaddimin tidak memasukan penghasilan dari profesi sebagai harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Syaikh Wahbah al Zuhaili hanya menyebut 5 jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni: mata uang (koin emas, koin perak, atau uang kertas), barang tambang (emas dan perak) dan harta peninggalan orang jahiliyah (rikaz), barang dagangan (‘urudl al tijarah), pertanian/buah-buahan (al zuru’ wa al tsimar), dan binatang ternak (al an’am).[15] Walaupun pada akhir pembahasan dalam bab zakat beliau sedikit membahas tentang zakat profesi, akan tetapi beliau hanya me-nuqil dari kitab al zakah-nya al Qardlawi. Tidak ada pandangan dari diri beliau sendiri. Hal ini mungkin karena beliau sendiri menamai kitabnya ini sebagai mausu’ah (ensiklopedi) sehingga meniscayakan untuk memuat informasi apapun yang berkaitan dengan bab yang sedang dibahas.
Abu Syuja sebagai ulama  yang menjadi rujukan ulama syafi’iyah dalam bidang fikih madzhab syafi’i dalam matan ghayah wa al taqrib juga hanya menyebut 5 jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni: al mawasyi (unta, sapi, dan domba), al atsman (emas dan perak), al zuru’ (pertanian), al tsimar (buah kurma dan buah anggur), dan urudl al tijarah (barang dagangan).[16] Begitu pula dalam al Fiqh ‘ala al Madzahib al arba’ah, Syaikh Abdurrahman al jazairi menyebut 5 jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya tersebut dengan kalimat penutup:
لا زكاة فيما عدا هذه الأنواع الخمسة. (Tidak ada zakat pada selain 5 jenis harta tersebut)
Salah satu pertimbangan yang dipakai ulama mutaqaddimin sehingga tidak memasukkan penghasilan profesi dalam kategori harta yang wajib dikeluarkan zakatnya boleh jadi karena, implikasi dari yang menunaikannya dan tidak menunaikannya cukup serius dalam pandangan islam. Ketika penghasilan profesi sudah disebut sebagai harta yang wajib dikeluarkan zakatnya maka hal itu berarti orang yang tidak menunaikannya akan disebut sebagai seorang muslim yang tidak melaksanakan salah satu rukun islam. Dalam pembahasan aqidah, sebagian ulama bahkan menghukumi orang yang tidak menunaikan zakat ini sebagai seorang yang fasiq bahkan kafir.
Syaikh Wahbah al Zuhaili secara tegas menyebut ancaman bagi seorang muslim yang tidak menunaikan zakat akan mendapatkan hukuman di dunia dan akhirat. Di dunia, apabila ia meyakini bahwa syari’at zakat adalah sesuatu yang tidak wajib maka dia dikategorikan sebagai orang yang kafir dan harus diperangi sebagaimana orang yang murtad. Apabila dia meyakini bahwa syariat zakat adalah sesuatu yang wajib akan tetapi dia membohongi Allah dan Rasulnya (tidak menunaikannya) maka dia dihukumi sebagai orang yang kafir. Dan di akhirat, dia akan mendapatkan adzab yang pedih.[17]
Dari sini tidak mengherankan, ketika dalam pendefinisian zakat, ulama malikiyah mensiratkan penekanan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus memenuhi syarat-syarat yang cukup tertentu. Hal ini bermakna, ulama malikiyah sebelum berfatwa tentang kewajiban zakat yang akan dibebankan kepada seorang muslim akan benar-benar mempertimbangkan syarat-syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Sehingga, ulama diharapkan untuk tidak membebankan kewajiban kepada umat sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban. Karena mewajibkan sesuatu yang sebenarnya tidak wajib adalah merupakan kedzoliman. Hal ini lah yang pernah dikhawatirkan oleh Rasulullah mengenai hukum shalat tarawih. Beliau khawatir seandainya shalat tarawih yang sebenarnya sunnah akan dianggap wajib oleh ummat.
2.         Ta’jil al zakah qabla al haul dan nishab
Terkait dengan pemotongan gaji yang belum mencapai nishab dan belum 1 haul terdapat dua pendapat:[18]
a.    Boleh. Menurut jumhur al ulama, pemilik harta yang telah mencapai nishab boleh men-ta’jil-kan zakatnya sebelum sampai 1 haul. Hal ini karena, pada hakikatnya ia membayarkan zakatnya setelah adanya sebab yang telah mewajibkannya zakat. Contoh dalam kasus ini adalah zakat pada hutang yang di-ta’jil-kan dan pembayaran diyat al khatha’. Ulama syafi’iyah menyebut 2 syarat yang membolehkan ta’jil zakat ini, yakni: pertama, kepastian pemilik harta tersebut adalah orang yang wajib zakat pada akhir tahun (haul) pada tahun (haul) tersebut. Dan juga masuknya bulan syawal pada zakat fitrah.[19] Kedua, penerima zakat tersebut pada akhir haul adalah orang yang berhak menerima zakat. Apabila dua syarat tersebut gugur, maka tertolak dari penerimanya jika penerima zakat tersebut tahu bahwa pembayaran zakat tersebut adalah zakat yang di-ta’jil-kan. Seperti apabila pemilik harta atau penerima zakatnya meninggal atau murtad sebelum akhir haul, berkurang dari nishab ketika akhir haul, atau hilang kepemilikan atas harta pada akhir haul, maka pen-ta’jil-an zakat tidak diperbolehkan karena dia telah keluar/gugur dari kewajiban zakat.
b.    Tidak boleh. Menurut ulama dzahiriyah dan ulama malikiyah, tidak diperbolehkan ta’jil zakat sebelum haul karena zakat adalah ibadah sebagaimana shalat yang tidak diperbolehkan menunaikannya sebelum waktunya. Karena haul dan nishab adalah merupakan syarat-syarat wajib zakat, maka zakat tidak boleh di-ta’jil-kan.

3.         Peng-qiyas-an zakat profesi dengan zakat al mal al mustafad dan zakat pertanian
a.       Meng-qiyaskan dengan al maal al mustafad (harta perolehan)
 Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya.[20] Dalam hal ini Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah).[21]
Selain itu, Peng-qiyas-an zakat profesi dengan al maal al mustafad ini, menurut al Qardlawi sesuai dengan pendapat Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf yang menyatakan bahwa pada dasarnya, mengenai zakat penghasilan dan profesi tidak ditemukan contohnya dalam fikih, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Imam Ahmad Bin Hanbal. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab. Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.[22]
Selain itu, pendapat tentang peng-qiyas-an zakat profesi ini dengan al maal al mustafad juga didukung dengan hadits dari Abu Ubaid. Ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya." Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan tidak adanya ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas.
Namun demikian, al Qardlawi berbeda pendapat dengan penafsiran Abu Ubaid mengenai hadits dari Ibnu Abbas tersebut. Abu Ubaid berpendapat bahwa yang dimaksud penghasilan dalam hadits tersebut adalah emas dan perak, sedangkan menurut al Qardlawi bahwa yang dimaksud penghasilan dalam hadits itu adalah zakat tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda.[23]

b.      Peng-qiyas-an zakat profesi dengan zakat pertanian
Ulama yang berpendapat bahwa zakat profesi ini bisa di-qiyas-kan dengan zakat pertanian adalah Syaikh Muhammad al Ghazali. Syaikh al qaradlawi menuliskan pendapat beliau ini dalam buku fiqh al zakah:
“Dasar penetapan wajib zakat dalam Islam hanyalah modal, bertambah, berkurang atau tetap, setelah lewat setahun, seperti zakat uang, dan perdagangan yang zakatnya seperempat puluh, atau atas dasar ukuran penghasilan tanpa melihat modalnya seperti zakat pertanian dan buah buahan yang zakatnya sepersepuluh atau seperdua puluh. maka beliau mengatakan; "Dari sini kita mengambil kesimpulan, bahwa siapa yang mempunyai pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali keadaan modal dan persyaratan- persyaratannya. "Berdasarkan hal itu, seorang dokter, advokat, insinyur, pengusaha, pekerja, karyawan, pegawai, dan sebangsanya wajib mengeluarkan zakat dari pendapatannya yang besar.”[24]

Adapun dalil yang digunakan oleh Syaikh Muhammad al Ghazali dalam hal ini antara lain:
1)   Keumuman nash al Quran: "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil yang kalian peroleh." (QS. al-Baqarah: 267)
Tidak perlu diragukan lagi bahwa jenis-jenis pendapatan di atas termasuk hasil yang wajib dikeluarkan zakatnya, yang dengan demikian mereka masuk dalam hitungan orang-orang Mu'min yang disebutkan Quran: "Yaitu orang-orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan salat, serta mengeluarkan sebagian yang kami berikan." (QS. al-Baqarah: 3).
2)   Islam tidak memiliki konsepsi mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddan (1 faddan = 1/2 ha). Sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddan tidak mewajibkannya, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya yang atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika mencapai nisab. Untuk itu, harus ada ukuran wajib zakat atas semua kaum profesi, dan pekerja tersebut, dan selama sebab (illat) dari dua hal memungkinkan diambil hukum qias, maka tidak benar untuk tidak memberlakukan qias tersebut dan tidak meneriina hasilnya.

4.         Nishab dan Haul zakat profesi
Menurut ijma’ ulama, merupakan syarat wajib zakat adalah harta yang dimiliki telah mencapai nishab. Tidak diwajibkan kepada seorang muslim untuk mengeluarkan zakat kecuali apabila harta miliknya telah mencapai nishab. Nishab adalah sesuatu (kadar) yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai tanda telah wajibnya dikeluarkan zakat, baik dari emas dan perak maupun lainnya.[25]
Dalam definisi nishab ini bahkan Al Qardlawi mensyaratkan untuk harta yang telah mencapai nishab tersebut bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Hal itu karena berdasarkan al qur’an, yang dituntut untuk berzakat hanyalah seorang muslim yang tergolong seorang kaya. Kaya di sini berkaitan dengan arti "lebih" ('afw) yang dijadikan Quran sebagai sasaran zakat tersebut. Allah berfirman "Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (al-Baqarah: 219). Dan Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kewajiban zakat hanya bagi orang kaya." "Mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu."[26] Adapun tentang kriteria kaya, tentunya disetiap daerah memiliki ukuran yang berbeda-beda. Bisa jadi seseorang disebut kaya di kampung, tapi belum termasuk kategori kaya di kota.
Mengenai Nishab zakat profesi ini, Muhammad Ghazali cenderung untuk mengukurnya menurut ukuran tanaman dan buah-buahan. Siapa yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya. Artinya, siapa yang mempunyai pendapatan yang mencapai lima wasaq (50 kail Mesir) atau 653 kg, dari yang terendah nilainya yang dihasilkan tanah seperti gandum, wajib berzakat. Menurutnya, ini adalah pendapat yang benar. Tetapi barangkali pembuat syariat mempunyai maksud tertentu dalam menentukan nisab tanaman kecil, karena tanaman merupakan penentu kehidupan manusia. Yang paling penting dari besar nisab tersebut adalah bahwa nisab uang diukur dari nisab tersebut yang telah kita tetapkan sebesar nilai 85 gram emas. Besar itu sama dengan dua puluh misqal hasil pertanian yang disebutkan oleh banyak hadis. Banyak orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling baik adalah menetapkan nisab gaji itu berdasarkan nisab.[27]

G.      Penutup
Sebagai penutup makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak permasalahan mengenai zakat profesi yang belum sempat tulis dalam makalah ini. Hal itu lebih banyak dikarenakan antara lain karena keterbatasan penulis pribadi dari sisi keilmuan dan terbatasnya referensi yang penulis miliki.
Pada akhirnya, ungkapan: “Tiada gading yang tak retak” sangat tepat disematkan untuk makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran akan sangat diharapkan demi terus tambahnya ilmu pengetahuan penulis. Wallahu a’lam bi al shawab.















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al Jazairi, al fiqh ‘ala madzahib al arba’ah (Kairo: Dar al Hadits, 2004), Juz. I
al Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah Mausu’ah al Fiqh al Islamy wa al qadlaya al Mu’ashirah (Damaskus: Dar al Fikr, 2010), Juz. II
al Qardlawi, Dr. Yusuf Fiqh al Zakah: Dirasah Muqaranah Li ahkamiha wa Falsafatiha Fi Dlau’I al Qur’an wa al sunnah (Beirut: Muassasah al Risalah, 1973), Juz. I.
Drs. Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-3, hlm. 158.

Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003
Dr. Musthafa Daib al Bagha, al tadzhib fi adillah matn al ghayah wa al taqrib, Cet. I (Jedah: al Haramain li al thaba’ah wa al nasyr wa al tauzi’, 1978)
Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah tanggal 5 – 8 Juli 2000 M di Pondok Gede Jakarta Timur










[1] Wahbah al Zuhaili, Mausu’ah al Fiqh al Islamy wa al qadlaya al Mu’ashirah (Damaskus: Dar al Fikr, 2010), Juz. II, hlm.642.
[2] Ibid., hlm. .642-643
[3] Abdurrahman al Jazairi, al fiqhala madzahib al arba’ah (Kairo: Dar al Hadits, 2004), Juz. I, hlm. 457.
[4] Wahbah al zuhaili, Op.Cit, hlm. 651.
[5] Abdurrahman al Jazairi dalam “al Fiqh ‘ala al madzahib al ‘arba’ah” menyebut bahwa tidak ada zakat selain dari 5 jenis harta yang wajib dizakati tersebut. (lihat: Abdurrahman al Jazairi, al Fiqh ‘ala al madzahib al ‘arba’ah(Kairo: Dar al Hadits, 2004), Juz. I, hlm. 462)
[6] Ibid., hlm. 459.
[7] Dr. Musthafa Daib al Bugha, al Tadzhib Fi Adillah Matni al Ghayah Wa al Taqrib ( Jeddah: Al Haramain Li al Thaba’ah Wa al Nashr wa al tauzi’, 1978), Cet. I, hlm. 93-96)
[8] Dr. Yusuf al Qardlawi, Fiqh al Zakah: Dirasah Muqaranah Li ahkamiha wa Falsafatiha Fi Dlau’I al Qur’an wa al sunnah (Beirut: Muassasah al Risalah, 1973), Juz. I, hlm..489.
[9] Ibid., hlm.487.
[10] Ibid., hlm. 513.
[11] Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan
[13] Keputusan Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah tanggal 5 – 8 Juli 2000 M di Pondok Gede Jakarta Timur

[14] Drs. Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-3, hlm. 158.
[15] Wahbah al zuhaili, Op. Cit., Juz. 2, hlm. 668.
[16] Dr. Musthafa Dlaib al Bagha, Op.Cit., hlm. 90-92.
[17] Wahbah al Zuhaili, Op.Cit, hlm. 646-647.
[18] Wahbah al zuhaili, Op.Cit., hlm. 665-666.
[19] Walaupun waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah setelah shubuh tanggal 1 syawal dan sebelum dilaksanakannya shalat ‘id, akan tetapi pembayaran zakat sebelum waktu itu juga diperbolehkan.
[20] Dr. Yusuf al Qardlawi, Op.Cit., hlm. .490
[21] Wahbah al Zuhaili, Op.Cit., hlm. 776.
[22] Dr. Yusuf al Qardlawi, Op.Cit., hlm. 490.
[23] Ibid., hlm. .499
[24] Ibid., hlm. 510-511.
[25] Abdurrahman al Jazairi, Op.Cit., hlm. 459.
[26] Dr. Yusuf al Qardlawi, Op.Cit., hlm.. 513
[27] Ibid., hlm. 513-514.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH: PENERAPAN PRINSIP AL MUSAWAH DALAM KEGIATAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI YANG BERBENTUK KEMITRAAN (AL MUSYARAKAH)

Teks pidato bahasa Arab tentang tahun baru hijriyah

Makalah Pemikiran ekonomi islam Imam Al Ghazali