Makalah Pemikiran ekonomi islam Imam Al Ghazali
A. Pendahuluan
Benarlah pernyataan yang diucapkan Munawir
Sjadzali ketika mengawali pemabahasan tentang profil Imam al Ghazali. Siapa di
antara umat Islam yang tidak kenal nama Abu Hamid al Ghazali, seorang teolog
terkemuka, ahli hukum, pemikir yang original, ahli tasawuf terkenal, dan yang
mendapatkan julukan Hujjah al Islam.[1] Semua kaum cerdik cendekia pasti
mengenal namanya.
Melalui karya-karyanya, banyak yang mengenal
sang Hujjah al Islam hanya sebagai ahli tasawuf, filsafat dan hukum.
Penulis masih sedikit menjumpai kaum akademis yang melihatnya dari kaca mata
ekonomi. Ternyata, setelah penulis membaca beberapa buku sejarah perjalanan
hidup sang Hujjah al Islam, membaca beberapa karya-karyanya,
disandingkan dengan telaah atas situasi ekonomi dan politik ketika beliau hidup,
penulis mendapati nama Hujjah al Islam Abu Hamid al Ghazali sebagai
pemikir ekonomi yang brilian. Kehebatan al Ghazali dapat disaksikan hingga
zaman sekarang ini dengan membaca karya tulis yang beliau wariskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Tidak hanya brilian, beliau bahkan termasuk
dari sebagian ulama yang tidak hanya berdiri di menara gading, yang hasil-hasil
buah fikirnya tidak menapak bumi, akan tetapi beliau adalah seorang pemikir
yang sangat peduli dengan keadaan masyarakat pada zaman di mana beliau hidup. Beberapa
karya-karya beliau ternyata sangat kental dengan nuansa perbaikan kehidupan
sosial kala itu.
Ihya ulum al din dan al Tibr al masbuk fi
nashihah al muluk adalah sebagian dari bukti nyata kepekaan beliau terhadap
permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dari permasalahan
moral masyarakat, masalah-masalah yang berkaitan dengan bidang politik, hingga ekonomi
masyarakat tak luput dari perhatian beliau.
Makalah ini mencoba mengurai sedikit tentang
pemikiran hukum ekonomi Hujjah al Islam Abu Hamid al Ghazali dengan
mengaitkannya dengan keadaan ekonomi dan politik pada masa kehidupannya.
B. Sekilas
Biografi al Ghazali
1. Perjalanan (rihlah) ilmiyah
Imam al Ghazali bernama asli
Zainudin Abu Hamid Muhamad bin Muhamad al Ghazali al Thusi al Syafi’i. al
Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di kota Thus, Profinsi Khurasan,
Persia, Iran. Ayah beliau adalah seorang yang faqir, bekerja sebagai pemintal (ghazl)
bulu domba dan menjualnya di toko di pasar. Nama al Ghazali dinisbahkan kepada
pekerjaan memintal (ghazl) ini. Ada
juga yang mengatakan bahwa kata al Ghazaly dinisbahkan kepada ghazalah,
sebuah desa di kota Thus. Beliau adalah anak dari seorang ayah yang bertaqwa
dan wara’, yang condong kepada para fuqaha dan senang menghadiri
majlis-majlis mereka.[2]
Imam al Ghazali memulai
pendidikannya di kota Thus, kemudian ke Jurjan, dan kemudian pindah ke Naisabur
pada tahun 470 H, bertemu dengan Imam al Juwainy yang masyhur dengan sebutan
imam alharamain, berguru kepadanya hingga wafatnya sang guru. Beliau belajar
fiqih dan ikhtilaf madzhab-madzhab, mempelajari ilmu debat dan mantiq (logika)
sebagaimana para filosof, sehingga menjadi orang terbaik dalam semua itu.
Karena keahliannya di bidang ilmu, termasuk filsafat, ia tidak saja terkenal di
dunia Islam tapi juga di dunia intelektual barat dengan nama algazel.[3]
Setelah wafatnya sang guru, Imam al
Juwainy, beliau bertolak ke Irak dan mengajar di Baghdad selama 6 tahun. Disamping
mengajar, beliau juga sibuk dengan pemikiran dan menyusun buku-buku dalam
bidang fiqih dan ilmu kalam (theologi). Selain itu, beliau juga sibuk menangkal
golongan bathiniyah, isma’iliyah, dan para filosof. Kemudian beliau mendalami
golongan-golongan sehingga yakin pada ilmu kalam. Pada masa ini beliau menyusun
kitab maqashid al falasifah (tujuan-tujuan para filosof) dan tahafut
al falasifah (kerancuan para filosof) dan al mustadhzharin (orang-orang
yang berfaham dhzahiriyah). Pada tahun 488 H, imam al Ghazali meninggalkan
Baghdad menuju Syam (Damaskus) dan tinggal di sana beberapa tahun. Di damaskus,
imam Alghazali hidup dengan kehidupan tashawuf karena beliau melihat
bahwa para sufi adalah orang-orang yang berjalan menuju Allah SWT secara khusus.
Perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, cara mereka adalah cara yang
paling benar, dan akhlaq mereka adalah akhlaq yang paling bersih. Kemudian
beliau hidup dalam khalwat, uzlah, riyadlah (melatih diri), dan mujahadah.
Untuk hal ini beliau beri’tikaf di menara masjid damaskus sepanjang hari.[4]
Pada tahun 488 H al Ghazali pergi
menuju tanah hijaz untuk melaksanakan kewajiban haji, kemudian ke Damaskus dan
ke Bait al Maqdis selama beberapa waktu. Pada masa rihlah inilah beliau
menyusun karya monumentalnya, ihya’ ulum al din, serta beberapa karangan
lainnya. Setelah beberapa lama pergi melanglang buana, kemudian beliau kembali
ke Naisabur dan kembali mengajar di Madrasah Nidzamiyah.[5]
Dalam al Iqtishad fi al I’tiqad disebutkan bahwa kembalinya beliau ke
Naisabur ini adalah atas perintah sulthan agar mengajar lagi.
Dua tahun kemudian beliau
meninggalkannya untuk kembali ke pusat kota Thus dan mendirikan madrasah untuk
para fuqaha di dekat kampung beliau sendiri. Di kota kelahirannya ini
beliau menghabiskan sisa umur beliau hingga wafat pada tahun 505 H dalam umur
sekitar 54 Tahun.[6]
2. Pergulatan Pemikirannya
Dalam kitab al Munqidz min al
dlalal, sebuah kitab yang ditulis al Ghazali pada akhir hayatnya, beliau
menyatakan bahwa sejak remaja sebelum umur 20 tahun, hingga saat menulis kitab al
Munqidz min al dlalal ini yakni umur 50 tahun, beliau telah mengalami
perjalanan pemikiran yang panjang.
Dimulai dari menceburkan diri ke
dalam lautan ilmu yang dalam, terjebak dalam setiap kegelapan, memecahkan
setiap musykilah (kesamaran), terjebak dalam setiap posisi yang sulit,
menyelidiki aqidah setiap golongan, dan terbukanya rahasia-rahasia setiap
madzhab dan sektarian, kemudian menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah,
mana yang ahli fitnah dan ahli bid’ah, meninggalkan bathiniyah sampai
suka keluar bersama bathinnya, meninggalkan dhzahiriyah sampai
ingin tahu hasil dari argumentasi dhzahiriyahnya, keluar dari filsafat
sampai berkehendak untuk berhenti dalam falsafahnya, mempelajari kalam hingga
berhujjah sampai ujung pembahasan kalam dan perdebatannya, serta mengkaji
tasawuf hingga mendapati rasa-rasa rahasia kelembutannya, lukisan dan
sifat-sifatnya, (seperti seorang imam) yang menjadikan keraguan menjadi jelas, mengambil
tasawuf untuk diri sendiri, bernaung pada kalam-nya al Asy’ary dan Fiqh-nya Al
Syafi’I, dan mengarang kitab-kitab diantara kalam-nya al Asy’ary dan Fiqh-nya
Al Syafi’I tersebut.[7]
Hingga akhir hayatnya, beliau
mewariskan banyak karya tulis yang membahas berbagai disiplin keilmuan.
Diantara karya-karya tersebut antara lain:[8]
a. Dalam bidang Fiqh madzhab Syafi’i:
al Wasith, al Basith, al Wajiz, dan al khulashah.
b. Dalam ilmu-ilmu lain:
- Ihya’ Ulum al din, al Arbain, al asma’ al
husna, al Mustashfa, dan al Mankhul (Ushul
fiqh)
- Bidayah al Hidayah dan al Ma’khad (ikhtilafat)
- Tahshin al Ma’khad, kimiya al sa’adah (dalam bahasa
Parsi)
- al Munqidz min al dlalal, Kasf ulum al
akhirah, al risalah al qudsiyah, al fatawa, mizan al ‘amal, Qawashim al
bathiniyah, al Mustadhhary, Haqiqah al ruh, Asrar mu’amalat al din, ‘Aqidah al
mishbah, al Manhaj al A’la, Akhlaq al anwar, al Mi’raj, Hujjah al Haqq, Tanbih
al Ghafilin, dan al Maknun (Ushul al din).
C. Situasi
Politik Di Masa Hidup Imam Al Ghazali
Sebagaimana telah dimaklumi oleh para ahli
sejarah, selama masa daulah Bani Abasiyah terjadi berkali-kali perubahan corak
kebudayaan islam sesuai dengan terjadinya perubahan dalam bidang politik,
ekonomi dan sosial. Berdasarkan perubahan demikian, para ahli budaya islam
membagi masa kebudayaan islam pada masa daulah bani abasiyah dalam empat masa
yaitu:[9]
a. Masa Abasiyah I, yaitu semenjak
lahirnya bani abasiyah pada tahun 132 H (750 M) sampai meninggalnya khalifah al
wasiq pada tahun 232 H (847 M)
b. Masa Abasiyah II, yaitu semenjak
khalifah al mutawakkil pada tahun 232 H (847 M) hingga berdirinya daulah
buwaihiyah di Baghdad pada tahun 334 H (946 M)
c. Masa Abasiyah III, yaitu semenjak
berdirinya daulah Buwaihiyah pada tahun 334 H (946 M) hingga masuknya kaum
Seljuk ke Baghdad pada tahun 447 H (1055 M)
d. Masa Abasiyah IV, yaitu semenjak
masuknya orang-orang seljuk ke Baghdad pada tahun 447 H (1055 M) hingga
jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar dibawah pimpinan Hulako pada tahun 656
H (1268 M)
Imam al Ghazali hidup pada masa
sengitnya pertikaian politik dan pemikiran yaitu pada paroh ke dua abad ke 5
hijriyah (abad ke 11 masehi), babak ke-3 dari dinasti Abasiyah.[10]
Suatu rentang masa dimana di dalam kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan
Dinasti Abasiyah yang berpusat di Baghdad terjadi perpecahan, lemahnya politik
dan militer, degradasi moral, kejumudan (kemandegan) dan khumul (senang menyendiri)
dalam pemikiran. Segala kekacauan tersebut terjadi karena beberapa hal, yang
antara lain:[11]
a. Gencarnya gerakan syiah
isma’iliyah dan dakwah fathimiyah
b. Kuatnya persenjataan yang dimiliki
keturunan turki yang sedang berkuasa di Baghdad. Mereka merebut kekuasaan di
irak sejak 3 tahun sebelum kelahiran imam alghazali.
c. Pendirian dinasti saljuk di tangan
Tughrul bek yang telah mengalahkan Baghdad. Nantinya, dinasti saljuk adalah
pemegang kekuasaan pada masa imam al ghazali.
d. Dengan kenyataan orang-orang
saljuk yang jauh dari agama dan ilmu-ilmu agama, maka mereka meminta bantuan
para ulama dan para fuqaha pun banyak yang mendekat kepada mereka. karena itu,
diadakanlah perlombaan untuk tercapainya hal tersebut. Sehingga muncul lah para
penipu dan pembuat sandiwara yang sombong, berhembus angin permusuhan, dendam,
dan kedengkian di dalam jiwa.
e. Munculnya husn al shabah,
pendiri jama’ah hasyyasyin (pengobar perang) yang menyatukan
perpecahan-perpecahan yang jauh dari islam.
f. Untuk menghadapi itu semua,
didirikanlah sekolah-sekolah nidhzamiyah oleh cucu laki-laki dari tughrul bek
(Ilb arslan) untuk melindungi agama dan menjaga sunnah.
Pada tahun 447 H/1055 M (3 tahun sebelum al
Ghazali lahir) kekuasaan Buwaihi yang telah mendampingi para khalifah Abasiyah
di Baghdad selama 113 tahun telah berakhir. Berakhirnya kekuasaan Buwaihi ini
dengan tampilnya orang-orang Seljuk. Dinasti Buwaihi merupakan dinasti yang
didominasi orang-orang Persia dan berfaham syiah, sedangkan Dinasti Seljuk
merupakan dinasti yang didominasi oleh orang-orang Turki yang berfaham Sunni.[12]
Periode Buwaihi dimulai
pada tahun 320H/932 M sampai tahun 447 H/1055 M. masyarakat Buwaihi merupakan
suku Dailam yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan dari dataran tinggi Jilan
sebelah selatan laut Kaspia. Setelah dinasti buwaihi berakhir, dinasti Seljuk
kemudian mengambil alih kekuasaan atas kekhalifahan di Baghdad.[13]
Bani Seljuk berasal dari
suku bangsa Ghuzz (Oghuz) di Turkistan dan bermigrasi ke barat di bawah Seljuk
Ibn Tuqaq. Dari namanya ini dinasti Seljuk diambil. Mereka berpindah lagi ke
barat dan berlindung kepada dinasti Saman. Di kawasan inilah mereka mengenal
kekuasaan dinasti Samani. Ketika dinasti Samani dikalahkan oleh dinasti
Ghaznawi, bani Seljuk di bawah pimpinan Tughrul bek kemudian memerdekakan diri
dan berdirilah dinasti Seljuk.
Ketika Kekhalifahan Abasiyah
di Baghdad sedang terganggu oleh perebutan kekuasaan amir umara antar keturunan
Bani Buwaihi sendiri, Khalifah meminta bantuan kepada Bani Seljuk yang telah
kuat kedudukannya untuk mengambil alih kekuasaan Bani Buwaihi di Baghdad.
Seljuk di Bawah Tughrul Bek memenuhi permintaan khalifah dan berhasil menguasai
Baghdad pada tahun 447 H/1055 M.[14]
Tughrul Bek menjadi terkenal
karena hubungannya dengan khalifah di Baghdad. Setelah melemahnya kekuatan Bani
Buwaih di Persia, pada 1055 (447 H) Tughrul memasuki Baghdad menyingkirkan
pengaruh Buwaih yang syi’ah dari istana khalifah. Tindakan Tughrul bek disambut
secara hangat oleh khalifah al Qaim yang menganugrahkan gelar sultan kepadanya.
Kekuasaan keluarga Seljuk pada masa Tughrul bek telah membentang dari
perbatasan Thian Shin di sebelah timur hingga perbatasan imperium Byzantium di
sebelah barat, dan meluas ke dalam wilayah iran selatan bekas wilayah kekuasaan
keluarga Buwaihi.
Mulk Tughrul bek sejak tahun
451 H/1059 M (1 tahun setelah Imam al Ghazali lahir) telah menetap di kota
Baghdad, memegang tampuk kekuasaan pada ibu kota kesultanan Seljuk di Asia
Tengah, ibu kota Naisapur. Ia pun mengangkat keponakannya, Alp Arselan untuk
berkedudukan di situ. Hal itu dikarenakan Mulk Tughrul bek tidak memiliki
keturunan.[15]
D. Situasi
Ekonomi Masyarakat Di Masa Hidup Imam Al Ghazali
Kerusuhan yang berlangsung selama belasan
tahun lamanya telah menyebabkan keamanan di ibu kota Baghdad dan sekitarnya
amat kacau. Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh kekacauan ini ternyata luar
biasa. Joesoef Sou’yb dalam buku Sejarah Daulat Abbasiah III menggambarkan
kekacauan ekonomi pada masa ini dalam poin-poin berikut:[16]
1. Pertanian terbengkalai karena kaum
tani merasa tidak aman dengan adanya pemerasan dan perampokan
2. Barang kebutuhan hidup amat kurang
dan harga-harga melambung tinggi hingga tak terjangkau oleh masyarakat.
3. Pengangguran, gelandangan, dan
kaum peminta-minta memenuhi ibu kota.
4. Pencurian, perampokan, dan
penyamunan menjadi peristiwa yang lumrah terjadi sehari-hari di tengah
masyarakat.
5. Karena teluk parsi tidak aman,
maka kapal-kapal dagang dari pesisir india, asia tenggara dan Tiongkok, yang
biasanya ramai memasuki teluk parsi dan membongkar muatan di Bandar Bashrah
maupun kufah kemudian mengalihkan pelayarannya ke teluk Aden, melewati laut
merah, melalui kanal Amirul Mukminin, dan membongkar muatannya di Bandar al
Qahirah. Dampaknya, pemerintahan daulah Fathimiyah di Mesir menjadi bertambah
makmur. Dengan melihat situasi yang demikian kacau, Emir/Mulk Tughrul Bek
kemudian mengadakan pembasmian terhadap segala macam pemerasan dan pemulihan
keamanan dengan dukungan pasukannya yang setia.
E. Pemikiran
Imam Al Ghazali Di Bidang Ekonomi dan Ushul Fiqh
Al Ghazali dikenal sebagai sarjana muslim
yang sangat produktif dan banyak berbicara dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Ia dikenal sebagai seorang teolog besar, filsuf, sufi, faqih, dan
ushuli (ahli ushul fiqh).[17] Lain dari itu, sebagaimana para
cendekiawan muslim sebelumnya, perhatian al Ghazali terhadap kehidupan
masyarakat ternyata tidak hanya terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah masalah
kehidupan ekonomi masyarakat.[18]
Adiwarman dalam sejarah pemikiran ekonomi
islam menyebut beberapa tema ekonomi yang dapat digali dari pemikiran al
Ghazali, antara lain:[19]
1. Pertukaran sukarela dan evolusi
pasar
Al Ghazali mengemukakan
signifikansi aktivitas perdagangan yang dilakukan secara sukarela, serta proses
timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan pemasaran untuk
menentukan harga dan laba. Menurut al Ghazali, evolusi pasar adalah merupakan
hukum alam. Pasar berevolusi sebagai sebuah ekspresi berbagai hasrat yang
timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Mutualitas
pertukaran ekonomi mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah
dan sumber daya. Lebih dari itu, menurutnya perdagangan merupakan hal yang esensial
bagi berfungsinya sebuah perekonomian yang berkembang dengan baik.
Untuk menjamin kelancaran
aktivitas perdagangan ini, al Ghazali menekankan pentingnya peran Negara dalam
melindungi dan menjamin keamanan pada rute-rute perdagangan.
2. Aktivitas produksi
Al Ghazali memfokuskan pembahasan
tentang aktivitas produksi ini dalam tiga hal pokok yakni:
a. Produksi barang-barang kebutuhan
dasar sebagai kewajiban sosial.
Dalam hal ini al Ghazali menekankan pentingnya
memproduksi barang-barang kebutuhan sosial. Dalam bahasa fikihnya adalah fardlu
kifayah. Jika ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang
memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang telah mencukupi kebutuhan
masyarakat, maka kewajiban seluruh masyarakat telah gugur.
b. Hirarki produksi.
Yaitu klasifikasi produksi yang terdiri dari produksi
kebutuhan barang primer (agrikultur), sekunder (manufaktur), dan tersier (jasa).
c. Tahapan produksi, spesialisasi,
dan keterkaitannya.
Menurut al Ghazali, dalam mata rantai produksi terdapat
saling keterkaitan dan saling ketergantungan satu aktivitas produksi dan
aktivitas produksi lainnya. Tahapan dan ketergantungan produksi mensyaratkan
adanya pembagian kerja dan kerja sama. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
dalam produksi roti. Dimulai dari petani yang menanam gandum, pengolah hasil
gandum menjadi tepung, pembuat bumbu roti, pembuat mesin oven, dan kemudian
produsen roti. Di sini ada tahapan produksi, spesialisasi pekerjaan, dan saling
keterkaitan antar aktivitas produksi.
3. Barter dan Evolusi Uang
Dalam hal ini al Ghazali
mengemukakan teori evolusi uang dan fungsinya. Ia menjelaskan bagaimana uang
mengatasi permasalahn yang timbul dari suatu pertukaran barter. Ia juga
membahas mengenai akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai uang.
4. Peranan Negara dan keuangan publik
Bagi al Ghazali, Negara dan agama
merupakan tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang
teratur. Agama adalah fondasi, dan penguasa yang mewakili Negara adalah
penyebar dan pelindungnya. Bila salah astu dari tiang ini lemah, maka
masyarakat akan ambruk. Tugas Negara yang paling pokok adalah berjuang untuk
kebaikan masyarakat melalui kerja sama dan rekonsoliasi.
Terkait dengan keuangan
publik, al Ghazali mengemukakan
pembahasannya dari dua sisi yaitu: Dari sisi pendapatan dan pengeluaran. Sumber-sumber
pendapatan Negara yang halal antara lain harta warisan yang tidak ada ahli
warisnya, sumbangan sedekah, dan wakaf yang tidak ada pengelolanya. Selain itu
adalah retribusi-retribusi yang dibebankan kepada umat islam serta pajak-pajak yang
dikumpulkan dari non muslim berupa ghanimah, fa’i, jizyah, dan amwal
al mashalih.
Adapun dari sisi pengeluaran, al
Ghazali menyarankan agar dalam pemanfaatan anggaran Negara bersifat fleksibel
yang berdasarkan asas kesejahteraan. Ia mengusulkan, jika pengeluaran publik
dapat memberikan manfaat yang lebih besar, penguasa boleh memungut pajak baru.
Namun, dalam penarikan pajak Negara juga harus mempertimbangkan kemampuan bayar
warga, tidak mentolerir pemerasan oleh pejabat, memberikan timbale balik berupa
jaminan keamanan bagi warga, dan sebaiknya warga pembayar pajak juga mengetahui
pemanfaatan sumber daya mereka.
Selain
beberapa pokok pemikiran ekonomi sang Hujjah al Islam yang berhasil
digali oleh Adiwarman Azwar Karim dari berbagai sumber, yang kesemuanya telah
dibukukan dalam buku Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam-nya, penulis mengajukan tiga hal yang (menurut penulis)
merupakan kontribusi penting Imam al Ghazali dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat pada masa itu yaitu:
1.
Stabilitas
keamanan Negara
Imam
al Ghazali menekankan pentingnya stabilitas keamanan untuk menjaga kelancaran dan
keberlangsungan aktivititas ekonomi. Hal ini tersirat dari nasihat beliau
kepada penguasa untuk berlaku adil dalam memutuskan kebijakan dan menahan untuk
tidak berlaku dzalim. [20] Selain itu, pemimpin juga tidak boleh meletakkan tangan (berdiam
diri) terhadap orang-orang yang berlaku dzalim.[21] Hal ini (barangkali) didasari oleh kegelisahan beliau melihat
merajalelanya kedzaliman yang berupa pencurian, perampokan, dal lain sebagainya
di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Di sini Imam al Ghazali menghendaki
agar pemegang kekuasaan menindak tegas oknum-oknum yang berbuat dzalim di
tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana kita baca dalam sejarah, bahwa
situasi keamanan nasional pada masa kehidupan Imam al Ghazali sangat kacau.
Perampokan dan pencurian merajalela, masyarakat merasa tidak nyaman untuk
melakukan aktivitas ekonomi, hingga yang paling merugikan adalah berpalingnya para
pedagang dari manca Negara untuk berniaga dengan penduduk negri dan mengalihkan
rute pelayarannya menuju mesir. Hal ini menyebabkan Negara rugi dua kali yaitu
meruginya perekonomian dalam negri dan meningkatnya kemakmuran negri-negri
musuh di daratan benua afrika, terutama dinasti Fathimiyah.
2.
Stabilitas
Politik
Imam
al Ghazali sepertinya mengatahui betul pentingnya stabilitas politik untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi. Dengan terciptanya stabilitas politik maka
masyarakat akan merasa tenang untuk menjalankan aktivitas-aktivitas ekonomi
mereka. Hal yang ditekankan oleh Imam al Ghazali adalah dengan meminimalisir
segala bentuk gejolak-gejolak muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal
ini, Imam al Ghazali mengajukan pentingnya para pemimpin untuk menciptakan
keadilan di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, ketika para pemimpin bisa
berbuat adil dan menjaga keadilan di tengah-tengah masyarakat, maka posisi
penguasa akan mendapatkan sokongan yang kuat dari rakyat. Ketika posisi
penguasa kuat maka akan mudah untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan
dengan baik.
Untuk
menyamapaikan pemikirannya itu, Imam al Ghazali menyusun satu risalah yang
diberinya judul Al Tibr al masbuk fi nashihah al muluk. Dengan memanfaatkan
ke-ulama-an beliau yang telah diakui secara luas oleh masyarakat (terlihat dari
posisinya sebagai direktur perguruan Nidzamiyah), Imam al Ghazali mencoba untuk
memulainya dengan memberikan nasihat-nasihat kepada para penguasa.
Sesuai
judulnya, risalah ini ditujukan sebagai nasihat bagi penguasa. Dalam risalah
ini, salah satu hal yang ditekankan Imam al Ghazali adalah bagaimana berlaku
adil bagi penguasa dan menjaga keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dalam Al
Tibr al masbuk fi nashihah al muluk ini Imam al Ghazali menjelaskan dengan
cukup luas mengenai pentingnya berlaku adil, tata cara untuk dapat berlaku
adil, serta banyak kisah-kisah tentang berlaku adilnya para sahabat, thabi’in
dan para ulama.
3.
Pencegahan
liberalisasi ekonomi
Pada
penjelasan-penjelasan sebelumnya, terlihat dengan (cukup) jelas dukungan Imam
al ghazali untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat yakni dengan mengemukakan
pemikiran beliau tentang pentingnya stabilitas keamanan negara dan stabilitas
politik. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat dapat melakukan
aktivitas-aktivitas ekonomi dengan bebas. Namun demikian, di lain sisi beliau
juga membatasi aktivitas-aktivitas ekonomi masyarakat agar tidak mengarah
kepada ekonomi liberal. Menurut Imam al Ghazali, kebebasan beraktivitas ekonomi
tidak boleh keluar dari batasan-batasan agama.
Menurut
Imam al Ghazali seluruh aktivitas manusia hendaknya didasarkan pada konsep mashlahah.
Mashlahah yang dimaksud Imam al Ghazali di sini adalah menjamin tujuan hukum,
yakni yang terdiri dari lima hal: Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Semua hal yang menjamin pemeliharaan terhadap kelima hal (al
ushul al khamsah) ini adalah mashlahah. Sebaliknya, semua yang
menelantarkannya adalah mafsadah. Dan upaya menghilangkan mafsadah
adalah mashlahah.[22]
Lebih
lanjut, al Imam al Ghazali betapapun beliau setuju untuk menggunakan mashlahah
sebagai salah satu sumber hukum fiqih, dalam penerapannya harus memenuhi tiga
syarat: daruriyah, qath’iyah, kulliyah, yaitu mendesak, tidak terelakkan,
pasti, dan menyangkut kepentingan yang luas, bukan kepentingan individual.[23]
Artinya,
ketika ada praktik muamalah yang “terlihat” seakan mengandung mashlahah (nilai
kebaikan) namun tidak sesuai dengan al Qur’an sebagai sumber utama hukum islam,
tidak sesuai juga dengan Sunnah Nabi, bahkan tidak sesuai juga dengan ijma’
shahabat, maka praktik muamalah tersebut harus memenuhi tiga syarat (daruriyah,
qath’iyah, kulliyah) agar tetap bisa dipraktekkan di tengah masyarakat.
Apabila mashlahah tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut maka tidak bisa
dibenarkan.
F. Kesimpulan
Setelah mengkaji beberapa karya
imam al Ghazali terutama ihya’ ulum al din dan al tibr al masbuk fi
nashihah al muluk, serta menghubungkannya dengan situasi ekonomi dan
politik pada masa kehidupan sang Hujjah al Islam, ternyata memperlihatkan
bahwa sang Hujjah al Islam adalah seorang ulama yang sangat peduli
terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,
termasuk permasalahan-permasalahan dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Dengan dua karya tulis tersebut,
terbukti Hujjah al Islam telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat dan meningkatkan kekuatan dinasti Seljuk pada akhir-akhir masa kehidupan
sang Hujjah al Islam. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasjmy, Sejarah kebudayaan islam. Cet.II.
Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Al Ghazali, Hujjah al Islam Abu
Hamid. al Tibr al Masbuk fi nashihah al muluk. Cet. I, Beirut: Dar al
kutub al Ilmiyah, 1988.
Al Ghazali,
Hujjah al Islam al Imam Muhammad Abu Hamid. al Iqtishad fi al I’tiqad. Cet.I.
Damaskus: Dar qutaiba, 2003.
Karim,Adiwarman Azwar. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Kurdi,
dkk. Hermeneutika al Qur’an dan Hadis. Cet.I. Yogyakarta: eLSAQ Press,
2010.
Mufradi,
Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet.I. Jakarta: Logos, 1997.
Sjadzali,
Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet.II. Jakarta:
UI Press, 1990.
Saleh,
Abdul Mun’im. Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah. Yogyakarta:
Ittiqa Press, 2001.
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiah
III . Cet.I. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
[1]
Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
UI Press, 1990), Cet. II, hlm. 70.
[2] Kurdi, dkk, Hermeneutika
al Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), Cet. I, hlm. 6.
[3]
Ibid, hlm. 7.
[4]
Hujjah al Islam al Imam Muhammad Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al
I’tiqad (Damaskus: Dar qutaiba, 2003), Cet. I, hlm. 8.
[5]
Kurdi, dkk,
Hermeneutika al Qur’an dan Hadis..., hlm. 7.
[6]
Hujjah al Islam al Imam Muhammad Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al
I’tiqad…, hlm. 9.
[7]
Ibid, hlm. 9-11.
[8]
Imam Abu Hamid al Ghazali, Ihya’ Ulum al din (Mesir: Maktabah al
Syuruq al Daulah), Cet. I, Juz. I, hlm.
6.
[9]
A. Hasjmy, Sejarah kebudayaan islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet.
II, hlm. 243.
[10]
Hujjah al Islam al Imam Muhammad Abu Hamid al Ghazali, al Iqtishad fi al
I’tiqad…, hlm. 7.
[11]Ibid,
hlm. 6-14
[12]
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam …, hlm. 7.
[13]
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997),
Cet. I, hlm. 123.
[14]
Ibid, hlm. 124.
[15]
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam…, hlm. 8.
[16]
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiah III (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), Cet. I, hlm. 8-9.
[17]
Kurdi, dkk,
Hermeneutika al Qur’an dan Hadis..., hlm. 8.
[18]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. I, hlm. 281-282.
[19]
Ibid, hlm. 287-315.
[20]
Hujjah al Islam Abu Hamid al Ghazali, al Tibr al Masbuk fi nashihah al muluk
(Beirut: Dar al kutub al Ilmiyah, 1988), cet. I, hlm. 7.
[21]
Ibid, hlm. 14.
[22] Abdul Mun’im
Saleh, Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah (Yogyakarta: Ittiqa
Press, 2001), hlm. 77.
[23] Ibid,
hlm. 102-103
Comments
Post a Comment