makalah tentang giro wadi'ah
A.
Pendahuluan
Saat
ini produk-produk yang ditawarkan oleh bank syari’ah sangat beraneka ragam.
Dari yang mengadopsi langsung ijtihad ulama fikih klasik sebagai hasil istinbat
al hukmi yang langsung digali dari al qur’an dan al sunnah, mengadopsi
pruduk-produk perbankan konvensional yang kemudian di-islamisasi dengan
menyesuaikannya dengan tata aturan yang ditetapkan oleh Islam, maupun hasil
kreatifitas ulama kontemporer untuk menyikapi setiap perubahan zaman.
Semakin
beraneka ragamnya produk perbankan syari’ah, dari sisi keilmuan islam tentu
merupakan suatu yang patut disyukuri. Karena itu menunjukkan kemajuan dalam
pemikiran islam. Namun demikian, tentunya sebagai akademi di bidang hukum
ekonomi tidak lantas berpangku tangan menonton indahnya kemajuan dan menanggalkan
nalar kritisnya. Kemajuan ilmu keislaman terutama dalam bidang hukum ekonomi
islam harus terus dikawal agar tetap sejalan dengan tujuan ideal yang
dicita-citakan oleh islam yakni selamat dunia dan akhirat.
Berangkat
dari latar belakang tersebut, makalah ini mencoba untuk menyikapi
dikeluarkannya produk simpanan giro iB dengan menggunakan akad wadi’ah yad
al dlamanah oleh Bank Syari’ah Bukopin. Dalam hal ini penulis
akan melihatnya dari akad dan klausul perjanjiannya, apakah produk simpanan giro iB tersebut benar-benar telah
sesuai dengan ketentuan fikih, ataukah masih ada yang perlu diperbaiki.
B.
Simpanan
Giro pada Bank konvensional
1.
Pengertian
giro
Pengertian simpanan giro atau yang lebih populer disebut rekening
giro menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro,
sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.[1]
Pengertian cek sendiri adalah surat perintah tanpa syarat dari nasabah kepada
bank yang memelihara rekening giro nasabah tersebut, untuk membayar sejumlah
uang kepada pihak yang disebutkan di dalamnya atau kepada pemegang cek
tersebut.[2]
Sedangkan pengertian bilyet giro (BG) atau yang lebih dikenal dengan nama giro
adalah surat perintah dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro
nasabah tersebut, untuk memindah bukukan sejumlah uang dari rekening yang
bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya atau nomor rekening
pada bank yang sama atau bank lainnya.[3]
2.
Perhitungan
jasa giro pada bank konvensional
Setiap dana yang disimpan di rekening giro akan memperoleh balas
jasa dari bank berupa bunga. Besar kecilnya jumlah bunga atau jasa giro yang
akan diterima dihitung dengan berbagai metode perhitungan. Umumnya menggunakan
saldo terendah pada bulan yang bersangkutan. Ada pula yang menggunakan saldo
rata-rata pada bulan yang bersangkutan.[4]
Perbedaan perhitungan jasa giro pada dua metode perhitungan
tersebut dapat dilihat dalam contoh kasus berikut:[5]
Laporan
Rekening Koran
Tn. Ibrahim
Per 31 Mei 2011
(Dalam ribuan) Bunga
18%
Tgl
|
Transaksi
|
Debet
|
Kredit
|
Saldo
|
01
|
Setor
tunai
|
-
|
10.000
|
10.000
|
07
|
Tarik
dengan cek
|
2.000
|
-
|
8.000
|
10
|
Setor
tunai
|
-
|
5.000
|
13.000
|
14
|
Setor
kliring
|
-
|
12.000
|
25.000
|
16
|
Tarik
dengan BG
|
5.000
|
-
|
20.000
|
18
|
Transfer
keluar
|
3.000
|
-
|
17.000
|
23
|
Kliring
masuk
|
7.000
|
-
|
10.000
|
29
|
Setor
dengan cek
|
-
|
8.000
|
18.000
|
1.
Perhitungan
bunga dengan menggunakan saldo terendah.
Saldo terendah
pada bulan mei adalah Rp. 8.000.000, maka perhitungan bunga pada bulan mei
adalah:
Bunga = 17%
x 8.000.000 = Rp. 113.333
12 Bulan
2.
Perhitungan
bunga dengan menggunakan saldo rata-rata.
Total saldo
untuk bulan mei adalah Rp. 121.000.000
Saldo rata-rata
= 121.000.000 = Rp. 15.125.000
8
Bunga = 17% x
15.125.000 = Rp. 214.271
C.
Akad
wadi’ah dalam kajian fikih
1.
Pengertian
Wadi’ah
Wadi’ah
menurut bahasa berarti sesuatu yang ditempatkan pada selain pemiliknya untuk
dijaga. Seperti dalam kalimat وديعةً عنده ليكون اودعتُ مالا أي
دفعتُه اليه (saya
me-wadi’ah-kan kan suatu harta. maksudnya: saya menmpatkan suatu harta
kepadanya sebagai sesuatu untuk dijaga olehnya). Sedangkan menurut istilah,
ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai akad yang bertujuan untuk menjaga
sesuatu yang dititipkan.[6]
2.
Macam-macam
bentuk Wadi’ah
Pada
dasarnya, wadi’ah merupakan akad titipan yang tidak memberikan wewenang kepada
penerima titipan untuk menggunakan benda yang dititipkan. Dan penerima titipan
berhak menerima upah untuk jasa penitipan itu. Namun demikian, perkembangan
sistem perekonomian yang semakin maju, khususnya di bidang perbankan, muncul
ide kreatif untuk mengelola dana titipan tersebut sehingga menjadi dana yang
produktif atau tetap mendiamkannya sebagaimana hukum asalnya. Oleh karena itu, akad
titipan ini dibedakan dalam dua macam, yakni:[7]
a.
Wadi’ah yad al dlamanah yaitu dana titipan yang dengan
seizin pemiliknya (nasabahnya) dikelola oleh bank untuk kegiatan yang produktif,
dengan jaminan bahwa bank akan mengembalikan titipan tersebut secara utuh.
Dengan akad Wadi’ah yad dlamanah ini tentunya bank tidak
memperoleh upah dari nasabah untuk jasa penitipannya, akan tetapi ia berhak
mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari hasil penggunaan dana nasabah
tersebut. Sedangkan bagi nasabah, selain ia mendapatkan jaminan keamanan
terhadap dananya, biasanya ia mendapatkan insentif dari bank. Pemberian
insentif tidak diperjanjikan di awal akad dan jumlahnya tidak ditetapkan
terlebih dahulu.
b.
Wadi’ah yad al amanah yaitu titipan yang penerima
titipan tidak berhak untuk berhak menggunakan titipan tersebut.
3.
Hukum
Wadi’ah
Menurut
Jumhur al ‘ulama, hukum asal wadi’ah adalah mubah. Manusia bebas untuk menjaga
harta miliknya sendiri atau dengan perantaraan jasa orang yang dipercaya untuk
menjaganya. Terkadang wadi’ah wajib atau dilarang (haram). Ia menjadi wajib
ketika pemilik harta khawatir akan kerusakan/kehilangan hartanya apabila
dijaganya sendiri. Dalam situasi seperti ini, menitipkan hartanya tersebut
kepada orang yang dipercaya menjadi wajib. Dan orang yang dipercaya wajib
hukumnya untuk menerima titipan tersebut karena syari’at menetapkan menjaga
harta adalah sesuatu yang wajib.
Dalam
satu situasi wadi’ah ini bisa juga menjadi dilarang ketika pemilik harta
khawatir harta akan dicuri atau hilang jika dititipkan. Maka baginya wajib
menitipkan di tempat mana saja yang aman.[8]
4.
Rukun
Wadi’ah
Menurut
jumhur al ‘ulama, akad wadi’ah memiki empat rukun, yakni: ‘ain al
muda’ah (harta yang dititipkan), al sighah (kalimat ijab
– qabul), al mudi’ (pihak yang menitipkan), dan al muda’ (pihak yang dititipi).[9]
5.
Syarat
Wadi’ah
Ulama
syafi’iyah membagi syarat wadi’ah ini dalam dua bagian, yakni:
a.
Berkaitan
dengan ‘ain al muda’ah (harta yang dititipkan), ia harus
merupakan sesuatu yang mempunyai nilai. Sekalipun harta tersebut adalah sesuatu
yang najis, seperti anjing yang bermanfaat untuk berburu atau untuk menjaga misalnya.
Apabila harta yang dititipkan tersebut bukan merupakan sesuatu yang ada
manfaatnya, seperti anjing yang tidak memiliki manfaat misalnya, maka akad
wadi’ah tersebut tidak sah.
b.
Berkaitan
dengan al sighat (kalimat ijab – qabul). Disyaratkan ada lafadz /
kalimat (baik yang jelas maupun samar). Contoh kalimat yang jelas seperti:
“saya titipkan harta ini”. Contoh kalimat yang samar seperti: “ambillah harta
ini” (dengan niat untuk menitipkan). Untuk kalimat yang samar, diwajibkan
adanya niat.
Tidak
disyaratkan adanya lafadz / kalimat dari al muda’ (pihak yang
dititipi). Seperti kalimat dari penitip: “saya titipkan hewan ini”, kemudian al
muda’ menerimanya tanpa mengucapkan kalimat: “saya terima” maka wadi’ahnya sah.
6.
Status
akad Wadi’ah
Status
akad wadi’ah pada dasarnya adalah ja’iz dari kedua belah pihak. Akad wadi’ah
ini seperti wakalah, yakni semua pihak (baik yang menitipkan maupun yang
dititipi harta) bebas untuk meneruskan atau membatalkan akad wadi’ah.[10] Pemilik harta bebas untuk meneruskan atau membatalkan akad
wadi’ah, sebab pemilik harta adalah orang yang memiliki otoritas penuh untuk
men-tasharruf-kan hartanya. Begitu pula pihak penerima titipan berhak
untuk meneruskan atau membatalkan akad wadi’ah karena ia adalah orang yang
memberikan jasa penjagaan secara suka rela.
Konsekwensi
dari status akad wadi’ah yang ja’iz dari kedua belah pihak adalah, pihak
yang memiliki harta berhak untuk membatalkan akad wadi’ah dengan menarik harta
yang dititipkannya sewaktu-waktu secara sepihak. Demikian pula pihak yang
dititipi, berhak untuk membatalkan secara sepihak akad wadi’ah dengan
mengembalikan harta yang dititipkan kepadanya. Namun demikian, jika pembatalan
akad ja’iz tersebut diduga kuat akan berdampak merugikan (dlarar),
maka akad ja’iz tersebut akan berubah menjadi lazim (mengikat),
sebab status ja’iz atau lazim-nya sebuah akad, dimaksudkan untuk
kemashlahatan akad itu sendiri.
D.
Fatwa
DSN MUI tentang Giro[11]
1.
Giro
ada dua jenis:
a.
Giro
yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan perhitungan
bunga.
b.
Giro
yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah
dan Wadi’ah.
2.
Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
a.
Dalam
transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana,
dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
b.
Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha
yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk
di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
c.
Modal
harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
d.
Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
e.
Bank sebagai
mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan
yang menjadi haknya.
f.
Bank tidak
diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
3.
Ketentuan Umum
Giro berdasarkan Wadi’ah:
a.
Bersifat
titipan.
b.
Titipan bisa
diambil kapan saja (on call).
c.
Tidak ada
imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
1.
Tentang
produk giro iB
Giro iB adalah salah satu produk yang dikeluarkan oleh Bank Syariah
Bukopin. Ia merupakan simpanan dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu dengan
menggunakan cek, bilyet atau pemindah bukuan lainnya. Simpanan dana pada
rekening giro iB ini merupakan titipan (wadi’ah yad dlamanah)
pada Bank Syari’ah Bukopin yang keamanannya terjamin, dan pihak bank dengan
seizing penitip dapat memanfaatkan dana tersebut untuk pengembangan usaha
produktif yang sesuai dengan syari’ah dan menguntungkan.
2.
Keuntungan
a.
Keamanan
dana dijamin oleh bank
b.
Mempermudah
melakukan transaksi usaha dan administrasi keuangan
c.
Dapat
dicairkan sewaktu-waktu
d.
Dapat
digunakan sebagai referensi bank
e.
Menerima
rekening Koran dalam bentuk statement yang dikirim setiap bulan
3.
Fasilitas
a.
Fasilitas
real time online di seluruh outlet Bank Syariah Bukopin
b.
Auto
debet untuk pembayaran listrik
4.
Persyaratan
a.
Diperuntukkan
bagi perorangan maupun badan usaha (CV, Firma, PT, Yayasan, BMT, dll).
b.
Foto
copy identitas diri untuk perorangan dan foto copy akta pendirian beserta
anggaran dasar dan perubahannya (untuk badan hukum).
c.
Foto
copy izin usaha dan NPWP.
d.
Setoran
awal untu perorangan sebesar Rp. 1 juta dan badan hukum sebesar Rp. 2 Juta.
5.
Klausul
perjanjian
a.
Ketentuan
umum
1)
Pemegang
rekening iB Bukopin (selanjutnya disebut pemegang rekening) pada Bank Syari’ah
Bukopin (selanjutnya disebut Bank) harus tunduk pada ketentuan yang berlaku
pada Bank. Baik ketentuan yang berlaku pada saat ini maupun
perubahan-perubannya di kemudian hari.
2)
Bank
berhak merubah, memperbaiki atau menambah syarat dan ketentuan umum setiap saat
tanpa pemberutahuan terlebih dahulu kepada pemegang rekening.
3)
Yang
berhak membuka rekening adalah perorangan atau badan usaha yang telah memenuhi
syarat yang telah ditentukan oleh bank.
4)
Pemegang
rekening berkewajiban menyerahkan kepada Bank satu atau lebih specimen
tandatangan orang yang diberi wewenang untuk mewakili pemegang rekening dalam
hubungannya dengan Bank, disertai penjelasan lengkap mengenai hak dan wewenang
masing-masing.
5)
Setiap
terjadi perubahan data nasabah wajib memberitahukan kepada bank dalam waktu 2
minggu. Bank tidak bertanggung jawab jika terjadi perubahan data yang tidak
disampaikan kepada Bank dalam waktu yang ditentukan tersebut oleh nasabah.
6)
Bank
tidak bertanggungjawab terhadap keabsahan, kebenaran, kelengkapan-kelengkapan
dokumen dan tanda tangan yang diterima oleh Bank sebagai syarat pembukaan
rekening. Bank juga tidak bertanggungjawab terhadap kerugian yang terjadi
akibat kelalaian, keterlambatan, kesalah pengertian, kekeliruan penyampaian
berita oleh pemegang rekening.
7)
Bank
berhak membebankan rekening atas biaya-biaya yang ditetapkan Bank
8)
Bank
setiap saat berhak memperbaiki setiap kesalahan yang dibuat Bank, baik dalam
membebankan rekening atau dalam menjalankan segala perintah yang berkaiatan
dengan hal tersebut.
9)
Apabila
terdapat perbedaan pencatatan saldo maka sebagai patokan Bank digunakan saldo
yang tercatat pada pembukuan Bank.
10)
Setiap
bulan Bank akan menerbitkan salinan rekening, selanjutnya pemegang rekening
diminta untuk mencocokkan dengan catatannya. Bilamana dalam 14 hari setelah
rekening tersebut diterima dan tidak ada berita dari pemegang rekening, dengan
sendirinya dianggap pemegang rekening telah menyetujui segala sesuatu yang
termuat dalam rekening tersebut.
11)
Setiap
permohonan atau instruksi dari pemegang rekening harus diberikan secara
tertulis dan ditandatangani oleh pemegang rekening atau pihak yang telah diberi
wewenang secara tertulis oleh pemegang rekening.
12)
Dalam
hal pemegang rekening adalah badan usaha, bank dibebaskan dari segala tuntutan
hukum yang berkaitan dengan keberadaan rekening tersebut sebagai akibat adanya
sengketa diantara pemilik / pengurus badan usaha.
13)
Pemegang
rekening wajib untuk memelihara saldo minimum yang besarnya ditentukan oleh
Bank. Apabila saldo minimum kurang dari yang telah ditetapkan, Bank berhak
membebankan terhadap biaya-biaya atas rekening.
14)
Pemegang
rekening bertanggungjawab terhadap penggunaan cek, bilyet giro atau
warkat-warkat lain yang telah ditandatanganinya. Bank tidak bertanggungjawab
terhadap setiap penyalahgunaan penggunaan cek, bilyet giro atau warkat tanpa
pemegang rekening pada kesempatan pertama melaporkan hal tersebut kepada bank.
15)
Bila
lebih dari tiga bulan berturut-turut rekening tidak ada mutasi selain bonus,
pajak dan biaya bank, maka bank berhak menetapkan rekening tersebut sebagai
rekening pasif. Jika pemegang rekening ingin melakukan transaksi, diharuskan
mengisi formulir tertentu.
16)
Bank
tidak mengijinkan penggunaan rekening untuk aktifitas pencucian uang. Nasabah
yang menyalah guanakan rekeningnya tersebut untuk melakukan aktifitas pencucian
uang, dapat diproses secara hukum oleh aparat yang berwenang.
17)
Jika
diperlukan verivikasi (berkaitan dengan prinsip mengenai nasabah anti tindak
pidana pencucian uang), pemilik setuju Bank menunda transaksi yang dilakukann
oleh pemegang rekening.
18)
Bank
berhak untuk menolak hubungan usaha dengan calon nasabah dan tidak berkewajiban
untuk memberikan alasan penolakan tersebut kepada calon nasabah.
19)
Bank
berhak untuk menghentikan / menutup hubungan usaha dengan nasabah serta
memberikan alasan penghentian / penutupan hubungan usaha tersebut.
20)
Maksimal
nominal penyimpanan dana (per nasabah) oleh lembaga penjamin simpanan adalah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b.
Ketentuan
khusus
1)
Diperuntukkan
bagi perorangan dan badan usaha
2)
Bonus
diberikan sesuai kebijakan bank dan dihitung dari saldo mengendap harian
3)
Nasabah
akan memperoleh salinan rekening Koran setiap bulannya.
6.
Sighat
ijab - qabul wadi’ah
“dengan ini
nasabah berjanji dan mengikat diri untuk menempatkan dananya dalam bentuk Giro
iB pada bank dan sekaligus nasabah memberikan kuasa kepada bank menggunakan
dana yang ditempatkan tersebut untuk dikelola oleh bank dengan nomor
rekening…………………………….dan dapat ditarik sewaktu-waktu oleh nasabah. Demikian
perjanjian ini kami buat dengan sebenarnya dan atas musyawarah dan mufakat
antara nasabah dan bank menyetujui serta terikat pada ketentuan yang berlaku
atas Giro iB. sehingga tidak dapat dirubah tanpa pemberitahuan dahulu dari Bank
Syari’ah Bukopin”.
F.
Tinjauan
fikih dalam produk giro iB di Bank Syari’ah Bukopin
Pada dasarnya, sah (sahih) atau tidaknya (batalnya) suatu akad atau
ibadah adalah tergantung pada terpenuhinya segala hal yang telah dipersyaratkan
oleh syara’. Apabila syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara’ telah
terpenuhi, maka akad atau ibadah tersebut telah dianggap sah.[13] Begitu juga terkait dengan transaksi pada produk giro iB di Bank
Syari’ah Bukopin, dengan terpenuhinya syarat-syarat wadi’ah (menurut ulama
syafi’iyah adalah barang yang dititipkan memiliki nilai dan ada sighat ijab –
qabul) maka produk giro iB pada Bank Syari’ah Bukopin telah memenuhi syarat
untuk dikatakan sebagai transaksi yang sah.
Namun demikian, dalam kaitannya dengan produk giro iB sebagai suatu
akad/ transaksi dalam hukum perikatan Islam, semestinya ia tidak boleh
melenceng dari prinsip-prinsip (asas) hukum yang telah digariskan oleh
syari’ah. Dalam hal ini, Faturrahman Djamil sebagaimana dikutip oleh Gemala
Dewi dkk. menyebut setidaknya enam asas yang harus ada dalam setiap transaksi
yang berdasarkan prinsip syari’ah, yakni: asas kebebasan, asas kesetaraan, asas
keadilan, asas kerelaan, asas kejujuran dan kebenaran, dan asas tertulis.[14]
Dalam kaitannya dengan asas kebebasan dan asas kesetaraan, akad
wadi’ah pada produk iB sebagai suatu perikatan telah memberikan kebebasan
kepada semua pihak untuk melakukan perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut
ditentukan oleh para pihak yang melakukan perikatan. Dalam hal ini, pihak Bank
Syari’ah Bukopin membuat penawaran kepada masyarakat untuk menitipkan dananya
dalam bentuk simpanan giro iB dengan mengemukakan keuntungan beserta
syarat-syarat yang harus dipenuhi, kemudian nasabah tertarik dan menyetujui
syarat dan ketentuan yang ditetapkan. Di sini setiap pihak memiliki kebebasan
untuk membuat perikatan dengan pihak lainnya. Nasabah bebas untuk menerima
tawaran atau menolak ikut menjadi nasabah simpanan giro iB, dan pihak Bank
syari’ah Bukopin juga bebas untuk menyetujui atau menolak keikutsertaan pihak
yang memiliki dana untuk menjadi nasabah pada simpanan giro iB.
Asas keadilan meniscayakan ketiadaan salah satu fihak yang merasa
terdzalimi dalam perikatan pada simpanan iB ini. Dalam kaitannya dengan asas
keadilan ini, klausul perjanjian simpanan giro iB pada ketentuan umum nomor 1,
2, dan 7 sepertinya perlu diperjelas antara pihak bank dan nasabah untuk
menghilangkan pendzaliman oleh 1 pihak kepada pihak lainnya. Pada ketentuan
umum nomor 1 dan 2, seharusnya setiap perubahan ketentuan dalam suatu akad atas
persetujuan semua pihak yang yang mengadakan perikatan. Sedangkan pada
ketentuan umum nomor 7, seharusnya apabila salah satu pihak harus menanggung
beberapa biaya maka jumlah nominal dan ketentuannya harus disebutkan secara
jelas, agar salah satu pihak tidak merasa dirugikan jika dikemudian hari
ternyata ia harus mengeluarkan biaya yang tidak difikirkannya pada saat sebelum
akad.
Asas kerelaan menyiratkan bahwa semua pihak yang mengadakan
perikatan dalam bentuk produk simpanan giri iB bertindak atas dasar kerelaan.
Artinya, kerelaan di sini bisa berarti tidak adanya paksaan, dan bisa juga
berarti kerelaan untuk memenuhi setiap kewajiban yang telah ditentukan dalam klausul
perjanjian sebagai kesepakatan yang telah disetujui bersama.
Dalam kaitannya dengan asas kejujuran, asas kebenaran dan asas
tertulis, penulis tidak menemui hal yang janggal dalam klausul perjanjian
maupun dalam sighat akad.
G.
Penutup
Dalam
literature-literatur fikih klasik penulis belum menemukan adanya transaksi
mu’amalah dengan menggunakan istilah wadi’ah yad al dlamanah. Penulis menduga,
istilah wadi’ah yad al dlamanah ini adalah produk
pemikiran ulama fikih kontemporer untuk meng-helah (merekayasa agar yang
tidak boleh menjadi mubah), yakni agar harta titipan wadi’ah yang dalam hukum
asalnya tidak boleh digunakan menjadi boleh digunakan maka dibuatlah istilah
wadi’ah dalam spesifikasi yad al dlamanah.
Kalau
memang wadi’ah yad al dlamanah ini hanyalah sekedar helah, penulis lebih setuju
jika produk simpanan iB atau yang sejenisnya bukan menggunakan akad wadi’ah,
akan tetapi menggunakan akad ‘ariyah (pinjaman). Karena jika akadnya
pinjaman, Bank secara hukum diperbolehkan menggunakannya sesuai hajat bank, dan
pemberian kelebiahan atas harta/uang pinjaman sudah jelas dicontohkan oleh
Rasulullah. Wallahu a’lam bi al shawab.
Daftar Pustaka
UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
Dr.
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan-edisi revisi, Cet. Ke-10 (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2012).
Abdurrahman al Jazairi, al fiqh
Ala Madzahib al Arba’ah (Kairo: Dar al Hadits, 2004), Juz. 3.
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan
Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005).
Fatwa DSN MUI NO: 01/DSN-MUI/IV/2000
M.
Khalid afandi dan Nailul Huda, Dari Teori Ushul Menuju Fiqih: Ala Tashil al
Thuruqat, Cet. Ke-2 (Kediri: Santri Salaf Press, 2014.
[1]
UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
[2]
Dr. Kasmir, Dasar-dasar Perbankan-edisi revisi, Cet. Ke-10 (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 78.
[3]
Ibid., hlm. 82.
[4]
Ibid., hlm. 85.
[5]
Ibid., hlm. 85-87.
[6]
Abdurrahman al Jazairi, al fiqh Ala Madzahib al Arba’ah (Kairo: Dar al
Hadits, 2004), Juz. 3, hlm. 188-189.
[7]
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005),
hlm. 159-160.
[8]
Ibid., hlm. 191.
[9]
Ibid., hlm. 189.
[10]
Ibid., hlm. 191.
[11]
Fatwa DSN MUI
NO: 01/DSN-MUI/IV/2000
[12]
Berdasarkan brosur yang dikeluarkan oleh Bank Syari’ah Bukopin.
[13]
M. Khalid afandi dan Nailul Huda, Dari Teori Ushul Menuju Fiqih: Ala Tashil al
Thuruqat, Cet. Ke-2 (Kediri: Santri Salaf Press, 2014), hlm. 58.
[14]
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam, hlm. 30.
Comments
Post a Comment