makalah al maslahah al mursalah dalam praktek produksi

AL MASHLAHAH AL MURSALAH
DALAM PRAKTEK PRODUKSI


Makalah Ini Disusun Sebagai Bahan Diskusi
 Pada Mata Kuliah Ushul Fiqh dan Kaidah Iqtishad
Program Studi Hukum Ekonomi Islam


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Boedi Abdullah, M.A.


Disusun oleh:
Aris Fauzin
      

Program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
2015
A.      Pendahuluan
Sudah menjadi hal yang dimaklumi umum bahwa kehidupan manusia ini terus berubah dari waktu ke waktu secara progresif. Problematika manusia pun semakin hari semakin kompleks dan bermacam-macam, akan tetapi, Allah SWT pencipta alam semesta ternyata memerintahkan umat manusia untuk menggunakan teks-teks syariah yang tidak berkembang dan tetap tanpa ada perubahan sedikitpun dan sampai kapanpun sebagai pedoman untuk mengelola alam semesta yang telah diciptakanNYA ini.
Satu keniscayaan yang tidak bisa ditawar dalam hal ini adalah, ketika syariat islam menyatakan diri telah sempurna[1] dan bahwa ia adalah shalih li kull zaman wa al makan (sesuai di semua masa dan tempat), maka teks-teks syariah yang tidak mengalami perkembangan dan tetap tanpa ada perubahan sedikitpun tersebut harus selalu diinterpretasikan dengan metodologi yang benar, agar selalu bisa digunakan sebagai pedoman untuk menghadapi semua problematika di semua masa dan semua tempat. Problematika yang terus berubah mengikuti perkembangan zaman.
Menginterpretasikan teks-teks syariah untuk menjawab tantangan problematika manusia di setiap masa dan semua tempat ini menjadi tugas ulama dan kaum cendekia agar manusia –melalui- petunjuk teks-teks syariah yang telah diinterpretasikan tersebut bisa menjadi khalifah (wakil/makhluk kepercayaan) Tuhan di dunia untuk mengelola alam semesta ini[2]. Hanya saja, hal yang perlu menjadi catatan di sini bahwa ternyata tidak semua problematika manusia bisa dirujukkan penyelesaiannya dengan merujuk teks-teks syariah secara langsung. Adakalanya, untuk masalah-masalah tertentu tidak ditemukan teks-teks syariah yang berbicara secara tegas (qath’iy) untuk dijadikan dalil. Sehingga, perlu dicari kemungkinan menggunakan metode/sumber hukum lain yang bersifat ilmiah, yang tidak menyimpang dari petunjuk syariah, dan bisa dipertanggungjawabkan -sekalipun dengan mengambil dalil-dalil yang masih bersifat dugaan(dzanny)- untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
Makalah ini bermaksud mengurai tentang salah satu metode/sumber hukum islam yang banyak digunakan oleh fuqaha (ahli hukum islam) yakni mashlahah mursalah, kemudian menggunakannya sebagai acuan untuk mengukur keabsahan aktivitas-aktivitas produksi sebagai aktivitas vital dalam ekonomi.

B.       Konsep Produksi
1.    Pengertian Produksi
Kata produksi merupakan kata serapan dari “production” yang secara linguistic mengandung arti penghasilan. Menurut Richard G. Lips produksi didefinisikan sebagai tindakan dalam membuat komoditi barang-barang maupun jasa. Dalam literature ekonomi Islam padanan produksi adalah “intaj” dari akar kata “nataja”.[3] Dengan kata lain, produksi bisa diartikan sebagai aktivitas menciptakan dan menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari semula.
Secara umum produksi adalah penciptaan guna (utility) yang berarti kemampuan suatu barang atau jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi tertentu[4]. Definisi tersebut terlampau luas untuk mempunyai banyak isi spesifik, tetapi di lain pihak, hal tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa produksi mencakup semua aktivitas-aktivitas dan bukan hanya pembuatan bahan-bahan materiil.

2.    Tujuan Produksi
Secara umum, tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok semua individu dan menjamin setiap orang mempunyai standar hidup manusia, sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah.
Rustam Efendi membagi tujuan produksi dalam dua hal utama, yaitu:[5]
a.    Kebutuhan primer tiap individu
Setiap muslim diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer hidupnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer dapat menimbulkan masalah mendasar bagi manusia lain menyangkut soal kehidupan sehari-hari dan dapat mempengaruhi ibadah seseorang seperti dikemukakan dalam al-Qur’an :
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ  
5. dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya), harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. Al Nisa: 5)


b.    Kebutuhan primer bagi seluruh rakyat
Dalam hal ini Negara berkewajiban untuk menjamin, pengaturannya dan operasionalnya. Termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan primer rakyat keseluruhan adalah keamanan, pengobatan, dan pendidikan seperti sabda Rasulullah SAW dalam satu hadis :
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ، وَمَحْمُودُ بْنُ خِدَاشٍ الْبَغْدَادِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي شُمَيْلَةَ الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ مِحْصَنٍ الْخَطْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلي الله عليه وسلم : " مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي)
“….Siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapat keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu maka seolah-olah dunia telah dimilikinya. (H.R. Tirmidzi)

3.    Faktor-faktor Produksi
Ilmu ekonomi menggolongkan faktor-faktor produksi ke dalam capital (termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventari/persediaan), materials (bahan baku dan pendukung), serta manusia (labor).[6]




C.      Konsep Mashlahah
1.    Pengertian Mashlahah
Abdul Mun’im Saleh mengutip definisi mashlahah yang ditulis al Imam al Ghazali dalam kitab ihya’ ulum al din-nya, bahwa mashlahah dalam pengertian dasarnya mengekspresikan hal mengusahakan apa yang bermanfaat atau menyingkirkan hal yang berbahaya. Tapi bukan ini yang kita maksud. Sebab mengupayakan manfaat atau menyingkirkan bahaya adalah tujuan-tujuan makhluk, sedangkan kebaikan makhluk adalah dalam pencapaian tujuan mereka. Apa yang kita maksud sebagai mashlahah adalah menjamin tujuan hukum, yakni yang terdiri dari lima hal: Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Semua hal yang menjamin pemeliharaan terhadap kelima hal (al ushul al khamsah) ini adalah mashlahah. Sebaliknya, semua yang menelantarkannya adalah mafsadah. Dan upaya menghilangkan mafsadah adalah mashlahah.[7]
Lebih lanjut al Imam al Ghazali memeberikan contoh mashlahah ini dengan sebuah kasus dimana ada segolongan kafir (dalam perang) menjadikan tawanan muslim sebagai perisai hidup. Tindakan menyerbu mereka berarti membunuh kaum muslimin yang tidak berdosa, sebuah kasus yang tidak didukung oleh nass. Jika serangan dari pihak muslim tidak dilakukan, kaum kafir akan memeperoleh kemajuan dan menaklukkan wilayah islam. Dalam kasus demikian, adalah sah untuk beralasan bahwa sekalipun kaum muslim tidak melakukan penyerangan, kehidupan tawanan muslim itu juga terancam. Sedang kaum kafir, sekali mereka menaklukkan wilayah tersebut, mereka akan mengusir kaum muslimin. Jika kasusnya demikian, maka tidak terelakan lagi untuk menyelamatkan masyarakat muslimin yang lebih luas ketimbang menyelamatkan sebagian kecil saja.[8]

2.    Macam-macam Mashlahah
Dalam pembahasan mashlahah sebagai sumber hukum, para ahli menggolongkan mashlahah ke dalam tiga kelompok yakni: maslahah mursalah, mashlahah mu’tabarah, dan mashlahah mulghah.[9]
Mashlahah mursalah adalah mashlahah yang tidak ada petunjuk (dalil) dari syari’ (Allah) apakah ia sah atau batal. Ia masih berstatus bebas (mursalah). Misalnya dalam upaya para Sahabat Nabi untuk membukukan al Qur’an, mashlahah dalam pembangunan penjara dan sebagainya.  
Mashlahah mu’tabarah adalah mashlahah yang dinyatakan sah oleh syari’ (Allah) dan peraturan yang dibuatNya adalah untuk mewujudkannya. Misalnya, mashlahah dalam bentuk melindungi agama (din) dilakukan dengan mewajibkan jihad. Melindungi hak hidup (nafs) dengan menegakkan hukum qishah, dan melindungi inetlektualitas (aql) dengan menegakkan hukuman bagi peminum minuman keras.
Adapun mashlahah mulghah adalah mashlahah yang batal demi syari’ karena hanya imajinatif (mauhumah), jika ditegakkan akan mengacaukan mashlahah yang lebih besar. Contoh dalam kasus mashlahah mulghah ini misalnya mashlahah yang diduga terwujud dengan menyamakan bagian warisan antara laki-laki dan perempuan dengan alasan sama-sama berstatus anak. Ini –secara tegas- bertentangan dengan ketentuan ayat bahwa bagian warisan anak perempuan adalah setengah bagian anak laki-laki. Padahal perbedaan ini berkenaan dengan perbedaan kewajiban kebendaan antara laki-laki dan perempuan.

3.    Perbedaan Istihsan, Istishhab, Dan Mashlahah Mursalah
Ada dua sumber hukum islam lain yang agak mirip dengan mashlahah mursalah ini yakni: istihsan dan istishhab. Berikut penulis uraikan sekilas tentang dua istilah tersebut.
a.         Istihsan
Imam Abu al Hasan al Karkhi mendefinisikan istihsan sebagai penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.[10]
Contoh dari istihsan ini seperti dalam kasus berikut: saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan haruslah orang-orang yang adil. Sebab dengan sifat adil itulah seseorang dapat dinilai jujur atau tidaknya sehingga kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim. Akan tetapi, seandainya dalam suatu Negara seorang hakim/qadli tidak menemukan orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara umum dipandang dapat dipercaya ucapannya, sehingga dengan demikian dapat dicegah timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap harta benda maupun manusia/individu.
b.         Istishhab
Imam al Syaukani dalam kitabnya, irsyad al Fuhul mendefinisikan istishhab sebagai dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Dalam pengertian bahwa ketetapan di masa lampau, berdasarkan hukum asal, tetap harus berlaku untuk masa sekarang dan masa mendatang.[11] Contoh kasus penetapan hukum berdasarkan istishhab ini adalah seperti masalah penetapan hak milik atas barang yang dibuktikan misalnya melalui pembelian, pewarisan, hibah, atau wasiat. Hak milik ini akan terus berlangsung untuk selamanya sampai ada dalil yang menunjukkan adanya pemindahan hak milik atau semisalnya. Begitupun dengan kasus orang yang hilang, ia tetap dihukumi masih hidup hingga ada dalil yang menunjukkan atas kematiannya.
Berdasarkan uraian tentang istihsan dan istishhab tersebut, dapat dilihat persamaan dan perbedaan yang mendasar dari ketiganya (istihsan, istishhab, dan mashlahah mursalah). Persamaannya adalah bahwa ketiganya merupakan metode pengambilan hukum berdasarkan qiyas. Ketiganya ini merupakan dasar hukum untuk memutuskan masalah fiqhiyah yang tidak ditemui dalil qath’iy-nya dalam nas. Karena tidak ditemui dalil qath’iy-nya, maka ketiga dasar hukum ini (istihsan, istishhab, dan mashlahah mursalah) menggunakan dalil yang bersifat dzanny yang kemudian diinterpretasikan dalam bentuk qiyas.
Adapun perbedaan dari ketiganya adalah terletak pada illat hukum yang dipakai. Kecocokan (munasib) illat yang ada dalam nas dan illat yang ada pada permaslahan yang sedang dihadapi inilah yang membedakan antara satu dengan lainnya. Imam al Ghazali membagi munasib ini dalam empat kategori:
a.    Munasib yang sesuai dengan dan didukung oleh landasan tekstual
b.    Munasib yang tidak sesuai dengan dan tidak didukung oleh landasan tekstual
c.    Munasib yang tidak sesuai dengan tetapi didukung oleh landasan tekstual.
d.   Munasib yang sesuai dengan tetapi tidak didukung oleh landasan tekstual.
Menurut imam al Ghazali, kategori pertama sepakat diterima. Kategori kedua disebut istihsan, yang berarti membuat hukum sesuai dengan pertimbangan pribadi. Kategori keempat disebut ishtishlah atau al istidlal al mursal.[12]

4.    Teknis operasional mashlahah mursalah sebagai sumber hukum
Cara yang dilakukan al Imam al Ghazali dalam penggunaan mashlahah mursalah ini sebagai sumber hukum adalah untuk menemukan illat dalam melakukan qiyas. Dia menjelaskan bahwa qiyas di sini berbeda dengan qiyas (analogi) dalam filsafat. Perbedaannya, disamping terletak pada bentuk penalaran, juga terletak pada illat itu sendiri. Illat dalam fiqih bukanlah “sebab” melainkan hanyalah tanda. Di antara cara menemukan illah –jika disebutkan dalam al Qur’an, al Sunnah, maupun ijma’- adalah al sabr wa al taqsim (observasi dan klarifikasi) dan pencocokan (munasabah). Dalam kaitannya dengan  munasabah inilah, mashlahah sebagai elemen utama dalam kecocokannya dengan syar’. Satu di antara beberapa klasifikasi munasib sangat berguna untuk menerangkan hubungan munasib sangat berguna untuk menerangkan hubungan munasib dengan mashlahah maupun perbedaan antara istihsan dan istishlah.[13]
Lebih lanjut, al imam al Ghazali betapapun beliau setuju untuk menggunakan mashlahah sebagai salah satu sumber hukum fiqih, dalam penerapannya harus memenuhi tiga syarat: daruriyah, qath’iyah, kulliyah, yaitu mendesak, tidak terelakan, pasti dan menyangkut kepentingan yang luas, bukan kepentingan individual.[14]

D.      Aktivitas Produksi Yang Memenuhi Prinsip Mashlahah
Sebagaimana dipahami bahwa aktivitas produksi merupakan serangkaian aktivitas manusia dalam mengelola faktor-faktor produksi yang berupa capital (termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventari/persediaan), materials (bahan baku dan pendukung), serta manusia (labor) untuk memenuhi kebutuhan individu maupun masyarakat luas, maka islam sebagai agama yang rahmat li al ‘alamin berkepentingan untuk mengatur agar aktivitas-aktivitas produksi tersebut tetap berpegang pada hukum syariah.
Pada prinsipnya, setiap hal (baik berupa entitas maupun aktivitas) menurut hukum syariah adalah boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya.[15] Dengan demikian, setiap hal yang berkaitan dengan aktivitas produksi pun pada dasarnya diperbolehkan selama tidak ada dalil qath’iy yang melarangnya dalam teks-teks syariah. Contoh dalam hal ini misalnya, terkait pemanfaatan faktor produksi berupa tanah sebagai materials (bahan baku) untuk membuat bata merah, apakah dilarang dengan dalil qath’iy dalam teks syariah?. Apabila ada dalil qath’iy dalam teks syariah yang melarangnya, maka tanah tersebut tidak boleh dijadikan sebagai bahan baku pembuat bata merah.
Namun bagaimana bila ternyata tidak dapat ditemukan dalil qath’iy yang menunjukkan diperbolehkan/dilarangnya penggunaan tanah itu sebagai material untuk memproduksi bata merah? Maka menurut fuqaha syafi’iyah (ahli hukum madzhab syafi’i) boleh mengambil ijma’ ulama (kesepakatan ulama) sebagai dasar hukum untuk istinbat al hukm (menggali hukum)nya. Kemudian bagaimana apabila ijma’ ulama juga tidak juga bisa didapat? Maka boleh menggunakan qiyas sebagai dasar  istinbat al hukm.
Dalam istinbat al hukm dengan qiyas inilah fuqaha syafi’iyah menggunakan alasan mashlahah mursalah sebagai dasar hukumnya. Mashlahah mursalah merupakan mashlahah yang tidak ada petunjuk (dalil) dari syari’ (Allah) apakah ia sah atau batal. Ia masih berstatus bebas (mursalah). Namun yang perlu diingat bahwa penggunaan mashlahah mursalah sebagai dasar hukum untuk istinbat al hukm harus memenuhi tiga syarat: daruriyah, qath’iyah, kulliyah yaitu mendesak, tidak terelakan, pasti dan menyangkut kepentingan yang luas, bukan kepentingan individual.
Setelah dikaji dengan menggunakan dasar mashlahah mursalah beserta tiga syarat tersebut ternyata misalnya ditemukan bahwa kegiatan produksi bata merah tersebut akan bisa membantu masyarakat untuk menyediakan lapangan pekerjaan, akan tetapi, di saat yang sama ternyata penggunaan tanah sebagai material untuk memproduksi bata merah tersebut juga akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Dari penggalian hukum berdasarkan mashlahah mursalah ini maka dapat disimpulkan bahwa produksi bata merah tidak boleh diteruskan dengan berdasarkan kaidah fiqih “dar al mafasid Muqaddamun ala jalb al mashalih”(mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mencari kebaikan).[16]
Bagaimana halnya apabila tanpa kegiatan produksi tersebut keluarga kita akan kehilangan mata pencaharian?. Karena alasannya hanya kepentingan pribadi dan tidak mendesak, maka kegiatan produksi bata merah tersebut tidak boleh dilaksanakan. Berbeda apabila alasananya adalah daruriyah, qath’iyah, kulliyah, (mendesak, tidak terelakan, pasti dan menyangkut kepentingan yang luas), maka produksi bata merah boleh dilaksanakan.

E.       Kesimpulan
1.         Untuk menggali hukum-hukum islam yang berkaitan dengan masalah ekonomi, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas produksi, konsep mashlahah ini sangat membantu.
2.         Selain konsep mashlahah mursalah, kaidah-kaidah fiqhiyah yang banyak lahir darinya juga perlu untuk dikaji dan dikaji terus agar syariah selalu siap menjadi solusi bagi setiap permasalahan umat.










DAFTAR PUSTAKA

Al Quran al Karim
Rustam Efendi. Produksi Dalam Islam. Yogyakarta : Megistra Insania Press, 2003.
C.E. Ferguson. Teori Ekonomi Mikro 2. Bandung : Tarsito, 1983.
Mustofa Edwin Nasution. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2006.
Abdul Mun’im Saleh. Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah. Yogyakarta: Ittiqa Press, 2001.
Abu zahrah, Prof. Muhammad. Ushul Fiqih (terj). Jakarta: Penerbit  Pustaka Firdaus, 2002.
al Suyuthy, Al Imam Jalaluddin. al asybah wa al nadza’ir fi al furu’. Semarang: Thaha Putra, tt.




[1] QS. Al Maidah: 3.
[2] QS. Al Baqarah: 30.
[3] Rustam Efendi, Produksi Dalam Islam (Yogyakarta : Megistra Insania Press 2003), hlm. 11-12.
[4] C.E. Ferguson, Teori Ekonomi Mikro 2 (Bandung : Tarsito, 1983), hlm. 1.
[5] Rustam Efendi…, hlm. 27-33.
[6] Mustofa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta : Kencana, 2006), hlm. 108.
[7] Abdul Mun’im Saleh, Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah (Yogyakarta: Ittiqa Press, 2001), hlm. 77.
[8] Ibid, hlm. 77-78.
[9] Abdul Mun’im Saleh…, hlm. 63.
[10] Prof. Muhammad Abu zahrah, Ushul Fiqih (terj), (Jakarta: Penerbit  Pustaka Firdaus, 2002), Cet-VII, hlm. 401
[11] Ibid, hlm. 451
[12] Abdul Mun’im Saleh…, hlm. 79
[13] Ibid. Hlm. 79
[14] Ibid, hlm. 102-103
[15] Al Imam Jalaluddin al suyuthy, al asybah wa al nadza’ir fi al furu’ (Semarang: Thaha Putra, tt), hlm. 43
[16] Al Imam Jalaluddin al Suyuthy…, hlm. 60

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH: PENERAPAN PRINSIP AL MUSAWAH DALAM KEGIATAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI YANG BERBENTUK KEMITRAAN (AL MUSYARAKAH)

Teks pidato bahasa Arab tentang tahun baru hijriyah

Makalah Pemikiran ekonomi islam Imam Al Ghazali