F. Penerapan Konsep Al Musyarakah Dan Al Musawah Dalam Praktek Produksi Dan Distribusi
PENERAPAN KONSEP AL MUSYARAKAH DAN AL MUSAWAH DALAM PRAKTEK PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
A.
Pendahuluan
Sudah
menjadi hal yang dimaklumi umum bahwa kehidupan manusia ini terus berubah dari
waktu ke waktu secara progresif. Problematika
manusia pun semakin hari semakin kompleks. Dari yang berkaitan dengan
permasalahan sosial, politik, maupun ekonomi. Satu keniscayaan yang tidak bisa
ditawar dalam hal ini adalah, ketika syariat islam menyatakan diri telah
sempurna[1]
dan bahwa ia adalah shalih li kull zaman wa al makan (sesuai di semua
masa dan tempat), maka teks-teks syariah yang tidak mengalami perkembangan dan
tetap tanpa ada perubahan sedikitpun tersebut harus selalu diinterpretasikan
dengan metodologi yang benar, agar selalu bisa digunakan sebagai pedoman untuk
menghadapi semua problematika di semua masa dan semua tempat. Karena problematika
terus berubah mengikuti perkembangan zaman.
Tugas
menginterpretasikan teks-teks syariah untuk menjawab tantangan problematika
manusia di setiap masa ini adalah menjadi tugas ulama dan kaum cendekia. Mereka
memiki tanggung jawab akdemis untuk memeberikan petunjuk agar manusia,
–melalui- petunjuk teks-teks syariah yang telah diinterpretasikan tersebut bisa
menjadi khalifah (wakil/makhluk kepercayaan) Tuhan di dunia untuk
mengelola alam semesta ini[2].
Adanya
kegiatan produksi dan distribusi yang telah menjadi suatu keniscayaan di
tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, tentunya menjadi tugas kita bersama
untuk terus mengawal kegiatan produksi dan distribusi ini agar tetap selaras
dan sesuai dengan ajaran agama. Karena
hanya dengan tetap menyelaraskan semua aspek kehidupan manusia dengan ajaran
agama-lah, manusia akan selamat.
Makalah
ini bermaksud mengurai tentang konsep al musyarakah dan al musawah, kemudian
menggunakannya sebagai landasan operasional dalam menjalankan praktek produksi dan
distribusi yang telah banyak dipraktekkan umat islam dewasa ini.
B.
Konsep Produksi
1.
Pengertian
Produksi
Kata produksi merupakan kata serapan dari “production” yang secara
linguistic mengandung arti penghasilan. Menurut Richard G. Lips produksi
didefinisikan sebagai tindakan dalam membuat komoditi barang-barang maupun
jasa. Dalam literature ekonomi Islam padanan produksi adalah “intaj”
dari akar kata “nataja”.[3]
DR.Muhammad Abdul Mun’im dan DR.Muhammad bin Sa’id bin Naji
A-Ghamidi mendefinisikan produksi
sebagai setiap bentuk aktifitas yang dilakukan manusia untuk mewujudkan manfaat
atau menambahkannya dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang
disediakan Allah Subhanahuwa Ta’ala sehingga menjadi maslahat, untuk memenuhi
kebutuhan manusia.[4]
Dengan kata lain, produksi bisa diartikan sebagai aktivitas
menciptakan dan menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu
barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari semula.
2.
Tujuan
Produksi dan ayat-ayat tentang produksi
Secara umum, tujuan produksi adalah untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok semua individu dan menjamin setiap orang mempunyai
standar hidup manusia, sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah.
Ada banyak ayat al Qur’an yang berbicara tentang produksi, antara
lain:
a. Al-Baqarah : 22
“ Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.”
b. Al-Baqarah : 29
“
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
c. An-Naĥl : 5
“ Dan Dia telah menciptakan
binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.”
d. An-Naĥl : 11
“
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
e. Al-Mulk : 15
“ Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah
bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
3.
Faktor-faktor
Produksi
Ilmu ekonomi menggolongkan faktor-faktor produksi ke dalam capital
(termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventari/persediaan), materials
(bahan baku dan pendukung), serta manusia (labor).[5]
C.
Distribusi
Distribusi adalah salah satu aspek dari pemasaran.Distribusi juga dapat
diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah
penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen, sehingga
penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat, dan
saat dibutuhkan).[6]
Seorang atau sebuah perusahaan distributor adalah perantara yang
menyalurkan produk dari pabrikan (manufacturer) ke pengecer (retailer). Setelah
suatu produk dihasilkan oleh pabrik, produk tersebut dikirimkan (dan biasanya
juga sekaligus dijual) ke suatu distributor. Distributor tersebut kemudian
menjual produk tersebut ke pengecer atau pelanggan.
D.
Konsep al Musyarakah (kemitraan)
1.
Pengertian
al Musyarakah
al Musyarakah atau dalam
kitab-kitab fikih sering disebut dengan Syirkah, secara bahasa berarti
bercampur. Adapun menurut istilah, al Musyarakah adalah sebuah kontrak
kerja sama kemitraan untuk meningkatkan nilai aset yang dimiliki setiap mitra
dengan memadukan modal dan sumber daya.[7]
Banyak definisi al Musyarakah ini yang diungkapkan oleh fuqaha,
walaupun diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda namun esensi yang
terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan.[8]
2.
Landasan
Dalil al Musyarakah
a.
Q.S.
al nisa: 12
…
bÎ*sù
(#þqçR%2
usYò2r&
`ÏB
y7Ï9ºs
ôMßgsù
âä!%2uà°
Îû
Ï]è=W9$#
4
.`ÏB
Ï÷èt/
7p§Ï¹ur
4Ó|»qã
!$pkÍ5
÷rr&
Aûøïy
uöxî
9h!$ÒãB
4
Zp§Ï¹ur
z`ÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÎ=ym
ÇÊËÈ
…tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.( Q.S. al nisa: 12)
b.
Q.S.
Shad: 24
tA$s%
ôs)s9
y7yJn=sß
ÉA#xsÝ¡Î0
y7ÏGyf÷ètR
4n<Î)
¾ÏmÅ_$yèÏR
(
¨bÎ)ur
#ZÏVx.
z`ÏiB
Ïä!$sÜn=èø:$#
Éóö6us9
öNåkÝÕ÷èt/
4n?tã
CÙ÷èt/
wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
×@Î=s%ur
$¨B
öNèd
3
£`sßur
ß¼ãr#y
$yJ¯Rr&
çm»¨YtGsù
txÿøótGó$$sù
¼çm/u
§yzur
$YèÏ.#u
z>$tRr&ur
)
ÇËÍÈ
Daud berkata:
"Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat..(Q.S. Shad: 24)
c.
H.R.
Abu Dawud
قَالَ النَّبِيُّ ص م:
" إِنَّ اللَّهَ، يَقُولُ:
أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا
خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا "
Nabi SAW Bersabda: Allah SWT
Berfirman: Aku adalah yang ketiga dari dua pihak yang berserikat selama salah
satu dari keduanya tidak mengkhiyanati mitranya. Apabila ia mengkhiyanatinya,
maka Aku keluar dari (perserikatan) antar keduanya.(H.R.
Abu Dawud)
3.
Macam-macam
bentuk kemitraan (Syirkah)
a.
Syirkah al Inan
Syirkah
al Inan Adalah kontrak kerja sama kemitraan antara dua orang atau lebih yang
menetapkan persekutuan hak bisnis (tasharruf) dalam suatu modal (maal)
secara persentase (syuyu’) dengan sistem keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Maksud syuyu’ di sini adalah hak tasharruf setiap mitra
atas modal tidak ditentukan secara fisik, melainkan berdasarkan persenan.
Misalnya, 50% dari total modal.[9]
Secara
hukum, syirkah al Inan diakui legalitasnya oleh ulama, sebab disamping
berdasarkan dalil naql, desakan kebutuhan (hajah) perdagangan dalam
skala besar mustahil tanpa melibatkan banyak investor sebagai pemilik modal.
Lebih dari itu, substansi akad syirkah adalah akad wakalah yang
dilegalkan. Artinya, setiap syarik (pihak yang bermitra) saling
mewakilkan secara gratis pada mitranya dalam meniagakan modalnya, untuk
mendapatkan keuntungan bersama.
b.
Syirkah
al Abdan
Syirkah
al Abdan adalah kontrak kerja sama kemitraan
antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan (‘amal) suatu proyek dengan
sistem keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. Syirkah al abdan
hanya melibatkan tenaga (amal), tanpa melibatkan harta (maal).[10] Contoh, A adalah seorang arsitektur designer, B adalah ahli
konstruksi bangunan, dan C adalah ahli instalasi. Kemudian mereka bertiga
bekerja sama untuk mengerjakan sebuah proyek.
Secara
hukum, syirkah al abdan ini diperselisihkan oleh ulama. Menurut imam Abu
Hanifah diperbolehkan secara mutlak, menurut Imam malik diperbolehkan jika
pekerjaannya tunggal, dan menurut Syafi’iyah tidak diperbolehkan secara mutlak.
Ulama syafi’iyah tidak memperbolehkan syirkah al inan ini karena menurut mereka
tidak ada istilah syirkah dalam amal.[11]
c.
Syirkah
al Mufawadlah
Syirkah
al Mufawadlah adalah kontrak
kerjasama kemitraan antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha tertentu
yang melibatkan pekerjaan (amal) dan modal (maal) dengan sitem profit and loss
sharing. Syirkah al Mufawadlah ini merupakan kombinasi dari syirkah
al inan dan syirkah al abdan.
Secara
legalitas hukum, Syirkah al Mufawadlah diperselisihkan ulama. Menurut
imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sah. Sebab dalam Syirkah al Mufawadlah terkandung
muatan bai’ dan wakalah, yakni setiap mitra menjual aset modalnya kepada yang
lain, dan melimpahkan managemen pengelolaan (nadhar) aset yang berada di bawah
tangannya.
[12] Sedangkan menurut Syafi’iyah tidak sah, karena dua alasan
mendasar.
Pertama,
legalitas akad syirkah harus dibangun atas dasar penggabungan (ikhthilath)
modal secara persentase (syuyu’), sehingga memungkinkan terjadinya penggabungan
dalam profit. Sebab profit adalah cabang (furu’) dari akar pokok (ushul)
berupa modal. Dalam akad syirkah al mufawadlah tidak tejadi
penggabungan modal (ushul), sehingga penggabungan profit furu’
tidak sah.
Kedua,
membebankan ganti rugi (dlaman) terhadap mitra atas resiko yang diluar
tanggung jawabnya.[13]
d.
Syirkah
al Wujuh
Syirkah
al Wujuh adalah kontrak kerja sama kemitraan
antara dua orang atau lebih yang memiliki popularitas atau ketokohan (wajih)
yang bisa mendongkrak nilai jual komoditi. Yang dimaksud popularitas di sini
adalah pihak yang telah mendapatkan kepercayaan publik (konsumen atau produsen)
dalam dunia bisnis karena prestasi, managemen, atau profesionalisme kerja.[14]
Secara
hukum, akad Syirkah al Wujuh diperselisihkan ulama. Menurut Hanafiyah
dan Hanabilah diperbolehkan dengan dua argumentasi. Pertama, berdasarkan
prinsip awalnya, semua muamalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang
melarangnya. Dan di sini tidak ditemukan dalil yang melarang tersebut. Kedua,
faktor hajah yang mendesak, masih memungkinkan untuk melegalkannya melalui
pendekatan konsep perwakilan implisit (wakalah dlimni).[15]
4.
Rukun
akad syirkah al Inan
a.
Shighah
Yaitu ijab
dan qabul dari seluruh mitra yang menunjukkan makna izin tasharruf terhadap
modal syirkah dalam perniagaan (tijarah), baik secara jelas (sharih)
atau kinayah. Sebab modal yang bersifat gabungan (musytarak)
tidak bisa di-tasharruf-kan tanpa izin pemiliknya.
b.
Aqidain
Yaitu dua
pelaku syirkah (syarikain) yang mengadakan kerja sama kemitraan
dengan modalnya masing-masing. Aqidain disyaratkan harus memenuhi kriteria
sah mengadakan wakalah karena masing-masing syarik (yang
berserikat/mitra) berperan sebagai muwakil (wakil atas nama
perserikatan).[16]
c.
Ma’qud ‘alaih
Yaitu modal
yang di-syirkah-kan. Adapun syarat-syarat ma’qud ‘alaih meliputi:
Ø Syuyu’
Sebelum syirkah
dilangsungkan, disyaratkan kepemilikan setiap mitra terhadap modal harus
bersifat persentase (syuyu’).
Ø Profit sharing
Apabila dalam
kegiatan perserikatan tersebut didapatkan keuntungan, maka hasilnya dibagi
sesuai syuyu’ yang telah disepakati bersama di muka.
Ø Loss sharing
Begitu pula
apabila dalam kegiatan perserikatan tersebut didapatkan kerugian, maka
ditanggung setiap mitra sesuai persentase (syuyu’) modalnya
masing-masing.
E.
Konsep
al musawah (persamaan/kesetaraan hak)
1.
Pengertian
al Musawah
Al Musawah secara bahasa artinya
persamaan. Menurut Istilah, al Musawah adalah persamaan dan kebersamaan serta penghargaan terhadap sesama manusia sebagai
makhluk Allah. Persamaan(Al-musawah),
yaitu pandangan bahwa semua manusia sama harkat dan martabatnya. Tanpa
memandang jenis kelamin, ras ataupun suku bangsa.[17] Tinggi rendah manusia hanya berdasarkan ketakwaanya[18] yang penilaian dan kadarnya hanya Tuhan yang tahu. Dalam diskursus ilmu sosial, al Musawah sering disebut
dengan HAM, yakni bahwa manusia memiliki hak yang sama di depan hukum dan
pengadilan.
2.
Dalil-dalil
al Musawah
a.
Q.S.
al Hujurat: 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4
¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al Hujurat:13)
b.
Hadits
Nabi
عَنْ أَبي نَضْرَةَ، حَدَّثَنِي مَنْ
سَمِعَ خُطْبةَ رَسُولِ اللَّهِ فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَقَالَ:
" يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَباكُمْ
وَاحِدٌ،
أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ،
وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا
أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بالتَّقْوَى... (رواه احمد)
Dari Abi Nadhrah,
telah menceritakan kepadaku seorang yang mendengar khutbah Rasulullah ketika di
tengah hari tasyriq, Beliau bersabda: Hai manusia, sesungguhnya bapak kalian
satu, tidak ada kelebihan bagi orang arab atas yang bukan arab, tidak pula yang
bukan arab lebih mulia dari yang arab, pun tidak lebih mulia yang merah atas
yang hitam, kecuali dengan taqwanya…(H.R. Ahmad)
...عَنْ أَبِي الْيَمَانِ قَالَ الأَزْهَرِيُّ
حِكَايَةً عَنِ الْعُتَيْبِيِّ: إِنَّ النَّبِيَّ أَرَادَ بِهَذَا أَنَّ النَّاسَ
مُتَسَاوُونَ فِي النَّسَبِ، لَيْسَ لأَحَدٍ مِنْهُمْ فَضْلٌ،
وَلَكِنَّهُمْ أَشْبَاهٌ كَإِبِلٍ مِائَةٍ،
لَيْسَ فِيهَا رَاحِلَةٌ ...) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ(
…dari
Abi al Yaman, al Azhari menceritakan dari al Utaiby: Sesungguhnya yang
dikehendaki Nabi dalam hal ini adalah bahwa manusia adalah sama (setara) dalam
nasab. Tidak seorang pun dari mereka memiliki kelebihan (dari yang lainnya),
akan tetapi mereka serupa, seperti 100 ekor unta yang tidak memiliki induk… (H.R.
Bukhari)
3.
Perdebatan
mengenai keabsahan istidlal dengan al musawah
Al Musawah sebagaimana
yang ada dalam perundang-undangan modern yakni setiap individu di depan
undang-undang adalah sama. Tidak ada perbedaan di antara mereka karena ras,
jenis, agama, bahasa, ataupun kelompok sosial dalam menuntut hak dan kekayaan
serta melaksanakan kewajiban-kewajibannya.[19]
Prinsip al Musawah adalah prinsip dasar yang disematkan
kepadanya semua hak dan kebebasan umum.[20] Syaikh Wahbah al Zuhaili dalam satu buku diktat untuk mahasiswa Universitas
Damaskus menyatakan bahwa peraturan kita berdiri di atas dasar kebebasan yang
moderat.[21] Di sini, al Zuhaili disamping menyebutkan keabsahan prinsip kebebasan
bagi setiap individu dengan tanpa adanya diskriminasi, juga ditekankan
pentingnya moderasi dalam hukum. Artinya, islam disamping menghendaki kebebasan
individu tanpa adanya diskriminasi, juga tetap dalam batasan tertentu/dalam
kadar tertentu (moderat). Bukan kebebasan yang tanpa kendali.
Berbeda dengan perundang-undangan yang ada di Negara-negara barat, yang
dengan dalih hak asasi, semua bebas melakukan apapun tanpa batasan-batasan
norma. Dalam bidang ekonomi misalnya, kebebasan ekonomi melahirkan sistem
kapitalisme yang berlandaskan pada prinsip open society lizes fire.
Dimana setiap individu dibenarkan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa
ada keharusan untuk berbagi kepada fakir/miskin. Selain itu, monopoli pasar
juga dibenarkan dengan alasan bahwa pasar harus berjalan secara terbuka dan
tidak boleh ada yang intervensi terhadap pasar, karena intervensi terhadap
pasar berarti sama saja dengan melanggar kebebasan.
Imam al Ghazali secara lebih terperinci membahas hal ini dalam
pembahasan mashlahah. Menurutnya,
pada dasarnya seluruh aktivitas manusia adalah
boleh, selama tidak ditemukan dalil yang melarangnya. Namun demikian, hendaknya
seluruh aktivitas manusia didasarkan pada konsep mashlahah. Mashlahah
yang dimaksud Imam al Ghazali di sini adalah menjamin tujuan hukum (maqashid
al syariah), yakni yang terdiri dari lima hal: Pemeliharaan terhadap
agama (hifdz al din), jiwa (hifdz al nafs), akal (hifdz
al ‘aql), keturunan (hifdz al nasab) dan harta (hifdz al mal).
Semua hal yang menjamin pemeliharaan terhadap kelima hal (al ushul al
khamsah) ini adalah mashlahah. Sebaliknya, semua yang
menelantarkannya adalah mafsadah. Dan upaya menghilangkan mafsadah
adalah mashlahah.[22]
Lebih lanjut, Imam al Ghazali betapapun beliau setuju untuk
menggunakan mashlahah sebagai salah satu sumber hukum fiqih, dalam
penerapannya harus memenuhi tiga syarat: daruriyah, qath’iyah, kulliyah,
yaitu mendesak, tidak terelakkan, pasti, dan menyangkut kepentingan yang luas,
bukan kepentingan individual.[23]
Artinya, ketika ada praktik muamalah yang “terlihat” seakan
mengandung mashlahah (nilai kebaikan) namun tidak sesuai dengan al
Qur’an sebagai sumber utama hukum islam, tidak sesuai juga dengan Sunnah Nabi,
bahkan tidak sesuai juga dengan ijma’ shahabat, maka praktik muamalah tersebut
harus memenuhi tiga syarat (daruriyah, qath’iyah, kulliyah) agar tetap
bisa dipraktekkan di tengah masyarakat. Apabila mashlahah tidak memenuhi
ketiga kriteria tersebut maka tidak bisa dibenarkan.
F.
Penerapan Konsep Al Musyarakah Dan Al Musawah Dalam
Praktek Produksi Dan Distribusi
Kegiatan produksi
dan distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting pada zaman sekarang ini.
Karena pada dasarnya, kegiatan produksi dan distribusi merupakan sarana yang
bisa dipakai oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
terpenuhinya kebutuhan hidup, manusia akan tetap survive dalam
menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
Namun
demikian, hal yang perlu dicatat adalah, sekalipun kegiatan produksi dan
distribusi ini telah menjadi hal yang vital di tengah-tengah masyarakat ini,
dalam pelaksanaanya tetaplah harus selalu mengikuti rambu-rambu yang telah
digariskan oleh agama. Dengan demikian, dalam praktek kegiatan produksi dan
distribusi ini harus sesuai dengan batasan hukum fikih sebagaimana telah
dibahas oleh para ulama.
Dalam
perserikatan misalnya, dengan mengikuti konsep syirkah al inan adalah
pilihan terbaik karena syirkah ini disepakati keabsahannya oleh ulama. Berbeda dengan bentuk-bentuk syirkah
yang lain, yang mana masih diperselisihkan keabsahannya oleh ulama. Hal ini
sesuai dengan kaidah fikih: الخُروْجُ مِنَ
الْاِخْتِلَافِ مُسْتَحَبٌّ (keluar
dari ikhtilaf adalah hal yang disukai oleh agama).
Selain itu,
kegiatan produksi dan distribusi harus pula mengikuti prinsip al musawah (kesetaraan).
Tidak boleh ada pihak yang lebih superior dari yang lain. Setiap individu
memiliki fitrah kebebebasan bertransaksi yang sama dan dilindungi oleh hukum
islam. Walaupun, kebebasan di sini juga masih tetap dibatasi agar tetap sesuai
dengan ajaran islam. Bukan kebebasan ala sistem ekonomi barat (kapitalisme)
yang telah terbukti banyak menyengsarakan manusia, khususnya negri-negri islam
yang menggunakan sistem kebebasan (kapitalisme) ala barat ini.
G.
Kesimpulan
Untuk menggali hukum-hukum islam yang berkaitan dengan masalah
ekonomi, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas
produksi dan distribusi, konsep al musyarakah dan al musawah ini
sangat tepat untuk dijadikan pedoman operasionalnya. Karena lebih adil,
menjamin kebebasan, dan lebih menjaga keamanan semua pihak. WALLAHU A’LAM
DAFTAR PUSTAKA
Al bujairami, Syaikh Sulaiman. Hasyiyah al bujairimy ala al
khathib. Damaskus: Dar al Kutub al Ilmiyah, tt.
al Bugha, Dr. Musthafa., dkk. Al Fiqh Al Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al
Syafi’i. Juz. III. Beirut: Dar al qalam, 1992.
al Jamal, Syaikh Sulaiman. Hasyiyah al Jamal. Juz.
III, Beirut: Dar al Fikr, tt.
al Nawawi, Al Imam Abu Zakariya. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li
al Syairazi. Juz. I. Surabaya: al Hidayah, tt.
al Thawalibah, Ali Hasan Muhammad. Makalah Haqq al Musawah fi al
syarri’ah al Islamiyah wa al Mawatsiq al dauliyah. Bahrain: Markaz al I’lam
al amny, tt.
Asya
asy, Arim. Al Hurriyyat Al ‘Ammah Fi Al An Dzimah Al Siyasiyah Al Mu’ashirah.
Iskandaria: Munsya’ah al Ma’arif, 1987.
al Qurthuby, Al Imam Ibn Rusyd. Bidayah al Mujtahid wa Nihayah
al Muqtashid, Juz. II. Beirut: Dar al Kutub al ilmiyah, tt.
al zuhaili, Wahbah. Wasathiyah al Islam wa Samahatuh. Damaskus:
Jami’ah Damsyiq, tt.
Efendi, Rustam. Produksi Dalam Islam. Yogyakarta : Megistra
Insania, Press 2003.
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Cet. I. Jakarta:
Kencana, 2005.
Nasution,
Mustofa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam . Jakarta : Kencana,
2006.
http://www.artikelsiana.com/2014/11/tujuan-tujuan-distribusi-fungsi-fungsi-distribusi.html,
akses 26 November 2015 pukul 12:30.
Saleh, Abdul Mun’im. Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah
. Yogyakarta: Ittiqa Press, 2001.
[1] QS. Al Maidah:
3.
[2] QS. Al
Baqarah: 30.
[3]
Rustam Efendi, Produksi Dalam Islam (Yogyakarta : Megistra Insania Press
2003), hlm. 11-12.
[4] DR.Muhammad Abdul Mun’im dan DR.Muhammad bin Sa’id bin
Naji A-Ghamidi, Ushul Al-Igtishad Al-Islam, hlm. 59-60.
[5]
Mustofa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta :
Kencana, 2006), hlm. 108.
[6] http://www.artikelsiana.com/2014/11/tujuan-tujuan-distribusi-fungsi-fungsi-distribusi.html,
akses 26 November 2015 pukul 12:30.
[7] Syaikh
Sulaiman Al bujairami, Hasyiyah al bujairimy ala al khathib (Damaskus:
Dar al Kutub al Ilmiyah, tt), Juz III, hlm. 40.
[8] Gemala Dewi,
dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. I, hlm.
118.
[9] Al Mawardi, al
Hawi al Kabir (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, tt), Juz. VI, hlm.473.
[10] Dr. Musthafa
al Bugha, dkk., Al Fiqh Al Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i
(Beirut: Dar al qalam, 1992), Juz. III, hlm. 219.
[11] Al Imam Abu
Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi (Surabaya:
al Hidayah, tt), Juz. I, hlm. 346.
[12] Al Imam Ibn
Rusyd al Qurthuby, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid (Beirut:
Dar al Kutub al ilmiyah, tt), Juz. II, hlm. 385-386.
[13] Syaikh
Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al Fikr, tt), Juz. III, hlm.
393.
[14] Syaikh
Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al fikr,
tt), Juz. III, hlm. 393.
[15] Al Imam Abu
Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi…, Juz. I,
hlm. 350.
[16] Dr. Musthafa
al Bugha, dkk., Al Fiqh Al Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i…, Juz.
3, hlm. 224.
[17] Ali Hasan
Muhammad al Thawalibah, Makalah Haqq al Musawah fi al syarri’ah al Islamiyah
wa al Mawatsiq al Dauliyah (Bahrain: Markaz al I’lam al Amny, tt), hlm. 3.
[18] Q.S. Al
Hujurat: 13.
[19]
Arim Asya Asy, Al Hurriyyat Al ‘Ammah Fi Al An Dzimah Al Siyasiyah Al
Mu’ashirah (Iskandaria: Munsya’ah al Ma’arif, 1987), hlm. 303.
[20] Ali Hasan
Muhammad al Thawalibah, Makalah Haqq al Musawah fi al syarri’ah al Islamiyah
wa al Mawatsiq al dauliyah…, hlm. 4.
[21] Wahbah al
zuhaili, Wasathiyah al Islam wa Samahatuh (Damaskus: Jami’ah Damsyiq,
tt), hlm. 13.
[22] Abdul Mun’im
Saleh, Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah (Yogyakarta: Ittiqa
Press, 2001), hlm. 77.
[23] Ibid,
hlm. 102-103
Comments
Post a Comment