MAKALAH: PENERAPAN PRINSIP AL MUSAWAH DALAM KEGIATAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI YANG BERBENTUK KEMITRAAN (AL MUSYARAKAH)
PENERAPAN PRINSIP AL MUSAWAH
DALAM KEGIATAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
YANG BERBENTUK KEMITRAAN (AL MUSYARAKAH)
A.
Pendahuluan
Salah
satu prinsip muamalah yang diajarkan islam adalah al musawah
(prinsip kesetaraan/persamaan). Dalam ajaran Islam, manusia tidak
dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, pangkat jabatan, harta, atau
lainnya. Islam hanya melihat manusia berdasarkan ketaqwaannya, yakni
berdasarkan ketaatannya dalam menjalankan segala perintahNYA dan menjauhi
larangan-laranganNYA.
Dalam
pandangan Islam, manusia dengan segala perbedaannya, dengan berbagai bangsa,
warna kulit, ras dan bahasa, dan dengan berbagai kedudukan sosial, pekerjaan
yang mereka kerjakan dan harta yang mereka miliki, semuanya adalah hamba Allah,
asal mereka satu dan pencipta mereka satu, tidak ada perbedaan dalam kedudukan
sebagai manusia, juga dalam hak-hak dan kewajiban. ini merupakan kenyataan
dalam masyarakat muslim, dan ini adalah salah satu akidah Islam yang mendasar.[1]
Berdasarkan
akidah ini, penguasa dan rakyat sama dalam pandangan syari'at Islam dari segi
hak-hak dan kewajiban sebagai manusia, tidak ada kelebihan sebagian atas yang
lain dari segi asal dan penciptaan, perbedaan hanyalah dari segi kemampuan,
bakat, amal dan usaha, dan apa yang menjadi tuntutan pekerjaan dan perbedaan
profesi.
Terkait
kegiatan produksi dan distribusi yang telah menjadi suatu keniscayaan di
tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, baik yang dilakukan secara personal,
institusional, maupun yang berbentuk kemitraan (al Musyarakah), tentunya
menjadi tugas kita bersama terutama kaum akademisi untuk terus mengawal
kegiatan produksi dan distribusi ini agar tetap selaras dan sesuai dengan ajaran agama. Karena hanya dengan tetap
menyelaraskan semua aspek kehidupan manusia dengan ajaran agama-lah, manusia
akan selamat.
Makalah
ini bermaksud mengurai tentang aplikasi prinsip al musawah dalam dalam
menjalankan praktek produksi dan distribusi yang menggunakan konsep al
musyarakah yang telah banyak dipraktekkan umat islam dewasa ini.
B.
Konsep al musawah (persamaan/kesetaraan hak)
1.
Pengertian
al Musawah
Al Musawah secara bahasa berarti persamaan. Menurut Istilah, al Musawah adalah persamaan dan kebersamaan serta penghargaan terhadap sesama manusia sebagai
makhluk Allah. Persamaan (Al-musawah), yaitu pandangan bahwa semua manusia sama harkat
dan martabatnya. Tanpa memandang jenis kelamin, ras ataupun suku bangsa.[2] Tinggi rendahnya derajat manusia
hanya berdasarkan ketakwaanya[3] yang penilaian dan kadarnya hanya Tuhan yang tahu. Dalam diskursus ilmu sosial, al Musawah sering disebut
dengan HAM, yakni bahwa manusia memiliki hak yang sama di depan hukum dan
pengadilan.
2.
Landasan
dalil al Musawah
a.
Q.S.
al Hujurat: 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4
¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al Hujurat:13)
b.
Hadits
Nabi
عَنْ أَبي نَضْرَةَ، حَدَّثَنِي مَنْ
سَمِعَ خُطْبةَ رَسُولِ اللَّهِ فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَقَالَ:
" يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَباكُمْ
وَاحِدٌ،
أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ،
وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا
أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بالتَّقْوَى... (رواه احمد)
Dari Abi Nadhrah,
telah menceritakan kepadaku seorang yang mendengar khutbah Rasulullah ketika di
tengah hari tasyriq, Beliau bersabda: Hai manusia, sesungguhnya bapak kalian
satu, tidak ada kelebihan bagi orang arab atas yang bukan arab, tidak pula yang
bukan arab lebih mulia dari yang arab, pun tidak lebih mulia yang merah atas
yang hitam, kecuali dengan taqwanya…(H.R. Ahmad)
...عَنْ أَبِي الْيَمَانِ قَالَ
الأَزْهَرِيُّ حِكَايَةً عَنِ الْعُتَيْبِيِّ: إِنَّ النَّبِيَّ أَرَادَ بِهَذَا
أَنَّ النَّاسَ مُتَسَاوُونَ فِي النَّسَبِ، لَيْسَ لأَحَدٍ مِنْهُمْ
فَضْلٌ، وَلَكِنَّهُمْ أَشْبَاهٌ كَإِبِلٍ مِائَةٍ، لَيْسَ فِيهَا رَاحِلَةٌ ...) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ(
…dari
Abi al Yaman, al Azhari menceritakan dari al Utaiby: Sesungguhnya yang
dikehendaki Nabi dalam hal ini adalah bahwa manusia adalah sama (setara) dalam
nasab. Tidak seorang pun dari mereka memiliki kelebihan (dari yang lainnya),
akan tetapi mereka serupa, seperti 100 ekor unta yang tidak memiliki induk…
(H.R. Bukhari)
3.
Prinsip
al Musawah dalam ajaran Islam
Muhammad Ali al Hasyimy dalam bukunya, “manhaj al Islam fi al
‘adalah wa al musawah” menyebut beberapa hal berkaitan dengan prinsip al
Musawah yang ada dalam ajaran Islam, antara lain:[4]
a.
Persamaan
adalah buah dari keadilan dalam Islam
Di
antara buah keadilan dalam masyarakat yang adil adalah: persamaan, yaitu
persamaan yang berdiri di atas dasar akidah, ia lebih menjamin untuk
dilaksanakan, tetap dan kekal dalam kehidupan nyata di masyarakat muslim yang
melaksanakan hukum yang diturunkan oleh Allah, jauh dari permainan hawa nafsu.
b.
Setiap
orang sama, tidak ada keistimewaan antara yang satu melebihi lainnya
Dengan
pengertian ini, tanggung jawab merata dan mencakup seluruh manusia, tidak ada
seorang pun yang terbebas darinya, semua anggota masyarakat bertangung jawab
atas perbuatannya, tidak ada yang mempunyai kekebalan hukum yang membaskannya
dari tanggung jawab atau melindunginya dari akibat perbuatannya di hadapan
kebenaran. dalam masyarakat muslim tidak ada seseorang atau kelompok tertentu
yang harus dipatuhi secara mutlak tanpa batas; karena kepatuhan mutlak yang tak
terbatas hanyalah kepada Allah, pencipta langit dan bumi, alam semesta,
kehidupan dan manusia.
c.
Memelihara
hak-hak non-muslim
Dalam
masyarakat muslim, non-muslim mempunyai hak-hak yang terpelihara, yang tidak
boleh diganggu atau dirampas, seperti hak hidup, hak memiliki, hak berbuat, dan
hak mendapat keadilan. Dalam hak-hak ini mereka sama dengan umat Islam. Dan ini
berlaku bagi non muslim, baik ia merupakan penduduk dalam masyarakat muslim
maupun bukan penduduk tetap, akan tetapi masuk ke negera Islam dengan jaminan
keamanan, dengan izin khusus atau umum. mereka aman selama tidak memerangi umat
Islam. mereka tidak boleh diganggu, atau diambil haknya, dan mereka pun berhak
mendapat keadilan dari pengadilan, sama seperti penduduk muslim. Bahkan, Islam
memberinya hak-hak yang tidak diberikan kepada umat Islam, terutama apa yang
halal dalam agamanya dan haram bagi umat Islam, seperti khamr, Islam
menganggapnya haram dan tidak boleh dimiliki. Akan tetapi, ia dianggap sebagai
harta yang berharga jika dimiliki oleh nasrani dan wajib diganti atas yang
merusaknya. Sedangkan jika dimiliki oleh orang Islam, ia tidak dianggap harta
yang berharga, dan tidak wajib mengganti bagi yang merusaknya.
d.
Persamaan
laki-laki dan perempuan dalam kewajiban agama dan lainnya
Di antara
bentuk persamaan yang telah lebih dahulu ada dalam Islam sebelum aturan dan
undang-undang yang dikenal oleh manusia sepanjang masa adalah: persamaan antara
laki-laki dan wanita dalam hak dan kewajiban, dimana Islam menjadikan keduanya
sama dalam kewajiban-kewajiban agama, hak pribadi, martabat manusia, hak-hak
sipil dalam mua'amalat dan kekayaan.
Islam
telah mengantarkan pada kedudukan yang tinggi ini pada masa awal sekali,
sebelum wanita di umat-umat lain sampai kepadanya. Dalam masyarakat muslim,
wanita mendapatkan hak-hak pribadi dengan sempurna, ia memiliki, menggunakan apa yang ia miliki, dan ia bebas
menjalankan hartanya sendiri tanpa laki-laki jika ia baligh dan
mengerti. Ia berhak mendapat upah yang sama dengan laki-laki jika megerjakan
pekerjaan yang sama, sedangkan di eropa dan amerika wanita mendapat upah yang
lebih kecil dari laki-laki, setelah melakukan perjuangan keras untuk
mendapatkan hak-haknya.
Wanita
muslimah berhak menjadi salah satu pihak dalam masalah pengadilan. Ia boleh
menjadi pendakwa dan terdakwa, walaupun lawannya adalah bapaknya, suaminya atau
yang lainnya. Ia berhak bekerja jika ia membutuhkan pekerjaan, atau masyarakatnya
membutuhkan pekerjaannya, sedangkan ia tidak berkewajiban memberi nafkah apabila
ada pihak yang wajib menafkahinya.
e.
Perbedaan
antara manusia dalam masyarakat
Demikianlah
Islam menyamakan hak antara semua manusia, antara laki-laki dan wanita, kaya
dan miskin, pejabat dan rakyat biasa, semuanya di hadapan kebenaran, hak-hak
dan martabat manusia semuanya sama. Adapun perbedaan antara mereka di sisi
Allah, hanya dengan takwa dan amal shalih. Hal ini sesuai dengan Firman Allah: “…Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu…”. (QS. Al Hujuraat: 13).
Adapun
perbedaan mereka dalam kehidupan bermasyarakat tergantung pada perbedaan mereka
dalam amal, usaha, pengalaman, bakat, ilmu dan produkyg bermanfaat, dan lain
sebagainya dimana manusia berbeda, dan menjadi sebab dalam perbedaan,
penghargaan atas usaha yang diberikan pada manusia.
f.
Persamaan
di depan hukum
Dalam
masyarakat muslim manusia sama di hadapan undang-undang dan hukum. Islam telah
memberikan contoh sejak awal bagi persamaan di antara manusia di depan
undang-undang dan hukum. Rasulullah telah mengajarkan para sahabatnya bagaimana
cara menghormati hak pendakwa dalam menuntut haknya walaupun ia menuntutnya
dengan cara kasar.
Dalam
hal ini Rasulullah mencontohkan ketika pada suatu hari seorang yahudi menagih
hutang yang belum jatuh tempo pada beliau, dan ia menagihnya dengan kasar, ia
berkata: "sungguh kalian adalah orangorang yang menunda-nunda hutang
wahai bani abdil mutthalib". Ketika beliau melihat para sahabatnya
marah pada perkataan yang tidak sopan ini, beliau berkata pada mereka: "biarkan
dia, karena orang yang mempunyai hak, punya hak bicara".
Para
sahabat betul-betul paham nilai hak persamaan antara manusia, dan sangat
membekas di hati mereka, maka mereka menebarkan hak ini dan menganjurkan untuk
menerapkan persamaan hak dalam kehidupan mereka. Umar bin Khattab mengirim
surat kepada hakimnya Abu Musa al Asy'ari yang berisi arahan tentang hukum
persamaan hak antara manusia di hadapan pengadilan. Beliau berkata: “Samakan
antara manusia di hadapanmu, di majlismu, dan hukummu, sehingga orang lemah
tidak putus asa dari keadilanmu, dan orang mulia tidak mengharap kecuranganmu.”
(HR. al Daruquthni).
g.
Persamaan
dalam memangku jabatan publik
Islam
merealisasikan puncak persamaan dalam menduduki jabatan public. Islam telah
melaksanakannya secara nyata pada masa-masa awal. Contoh nyata dalam hal ini
adalah ketika Rasulullah memberikan jabatan panglima, gubernur dan
jabatan-jabatan strategis lainnya pada banyak budak yang telah dimerdekakan
seperti zaid, usamah bin Zaid, dan lainnya.
Sebelum
Nabi wafat, Beliau melantik Usamah bin Zaid sebagai panglima pasukan umat Islam
yang bersiap-siap untuk memerangi romawi. Sebelum pasukan berangkat ternyata Rasulullah
keburu wafat, namun demikan Abu Bakar
meneruskan perintah Rasulullah tersebut dan tetap memberikan jabatan panglima
kepada Usamah bin Zaid, walaupun sebagian sahabat merasa berat kalau jabatan
panglima dipegang oleh Usamah karena dia masih terlalu muda.
h.
Persamaan
didasarkan pada kesatuan asal bagi manusia
Umat
Islam yang jujur yang mengerti petunjuk agama mereka telah sampai ke puncak
persamaan; karena mereka mengerti bahwa persamaan sebagaimana ditetapkan Islam
dibangun atas dasar kesatuan asal penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah
swt: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”
(QS. al Hujurat: 13)
4.
Perdebatan
mengenai keabsahan istidlal dengan al musawah
Al Musawah
sebagaimana yang ada dalam perundang-undangan modern mengandung pengertian
bahwa setiap individu di depan undang-undang adalah sama. Tidak ada perbedaan
di antara mereka karena ras, jenis, agama, bahasa, ataupun kelompok sosial
dalam menuntut hak dan kekayaan serta melaksanakan kewajiban-kewajibannya.[5]
Prinsip al Musawah adalah prinsip dasar yang disematkan
kepadanya semua hak dan kebebasan umum.[6] Syaikh Wahbah al Zuhaili dalam satu buku diktat untuk mahasiswa
Universitas Damaskus menyatakan bahwa peraturan kita berdiri di atas dasar
kebebasan yang moderat.[7] Di sini, al Zuhaili disamping menyebutkan keabsahan prinsip
kebebasan bagi setiap individu dengan tanpa adanya diskriminasi, juga
ditekankan pentingnya moderasi dalam hukum. Artinya, islam disamping
menghendaki kebebasan individu tanpa adanya diskriminasi, juga tetap dalam
batasan tertentu/dalam kadar tertentu (moderat). Bukan kebebasan yang tanpa
kendali.
Berbeda dengan perundang-undangan yang ada di Negara-negara barat,
yang dengan dalih hak asasi, semua bebas melakukan apapun tanpa batasan-batasan
norma. Dalam bidang ekonomi misalnya, kebebasan ekonomi melahirkan sistem
kapitalisme yang berlandaskan pada prinsip open society lizes fire. Dimana
setiap individu dibenarkan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa ada
keharusan untuk berbagi kepada fakir/miskin. Selain itu, monopoli pasar juga
dibenarkan dengan alasan bahwa pasar harus berjalan secara terbuka dan tidak
boleh ada yang intervensi terhadap pasar, karena intervensi terhadap pasar
berarti sama saja dengan melanggar kebebasan.
Imam al Ghazali secara lebih terperinci membahas hal ini dalam
pembahasan mashlahah.
Menurutnya, pada dasarnya seluruh
aktivitas manusia adalah boleh, selama tidak ditemukan dalil yang melarangnya. Namun
demikian, hendaknya seluruh aktivitas manusia didasarkan pada konsep mashlahah.
Mashlahah yang dimaksud Imam al Ghazali di sini adalah menjamin tujuan
hukum (maqashid al syariah), yakni yang terdiri dari lima hal:
Pemeliharaan terhadap agama (hifdz al din), jiwa (hifdz
al nafs), akal (hifdz al ‘aql), keturunan (hifdz al nasab) dan
harta (hifdz al mal). Semua hal yang menjamin pemeliharaan terhadap
kelima hal (al ushul al khamsah) ini adalah mashlahah.
Sebaliknya, semua yang menelantarkannya adalah mafsadah. Dan upaya
menghilangkan mafsadah adalah mashlahah.[8]
Lebih lanjut, Imam al Ghazali betapapun beliau setuju untuk
menggunakan mashlahah sebagai salah satu sumber hukum fiqih, dalam
penerapannya harus memenuhi tiga syarat: daruriyah, qath’iyah, kulliyah,
yaitu mendesak, tidak terelakkan, pasti, dan menyangkut kepentingan yang luas,
bukan kepentingan individual.[9]
Artinya, ketika ada praktik muamalah yang “terlihat” seakan
mengandung mashlahah (nilai kebaikan) namun tidak sesuai dengan al
Qur’an sebagai sumber utama hukum islam, tidak sesuai juga dengan Sunnah Nabi,
bahkan tidak sesuai juga dengan ijma’ shahabah, maka praktik muamalah
tersebut harus memenuhi tiga syarat (daruriyah, qath’iyah, kulliyah)
agar tetap bisa dipraktekkan di tengah masyarakat. Apabila mashlahah
tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut maka tidak bisa dibenarkan.
C.
Konsep Produksi
1.
Pengertian
Produksi
Kata produksi merupakan kata serapan dari “production” yang secara
linguistic mengandung arti penghasilan. Menurut Richard G. Lips produksi
didefinisikan sebagai tindakan dalam membuat komoditi barang-barang maupun
jasa. Dalam literature ekonomi Islam padanan produksi adalah “intaj”
dari akar kata “nataja”.[10]
DR.Muhammad Abdul Mun’im dan DR.Muhammad bin Sa’id bin Naji
A-Ghamidi mendefinisikan
produksi sebagai setiap bentuk aktifitas yang dilakukan manusia untuk
mewujudkan manfaat atau menambahkannya dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber
ekonomi yang disediakan Allah Subhanahuwa Ta’ala sehingga menjadi maslahat,
untuk memenuhi kebutuhan manusia.[11]
Dengan kata lain, produksi bisa diartikan sebagai aktivitas
menciptakan dan menambah kegunaan (nilai guna) suatu barang. Kegunaan suatu
barang akan bertambah bila memberikan manfaat baru atau lebih dari semula.
2.
Tujuan
Produksi dan ayat-ayat tentang produksi
Secara umum, tujuan produksi adalah untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok semua individu dan menjamin setiap orang mempunyai
standar hidup manusia, sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah.
Ada banyak ayat al Qur’an yang berbicara tentang produksi, antara
lain:
a. Al-Baqarah : 22
“ Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.”
b. Al-Baqarah : 29
“
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
c. An-Naĥl : 5
“ Dan Dia telah menciptakan
binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.”
d. An-Naĥl : 11
“
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun,
korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
e. Al-Mulk : 15
“ Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah
bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
3.
Faktor-faktor
Produksi
Ilmu ekonomi menggolongkan faktor-faktor produksi ke dalam capital
(termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin, dan inventari/persediaan), materials
(bahan baku dan pendukung), serta manusia (labor).[12]
D.
Konsep Distribusi
Distribusi adalah salah satu aspek dari pemasaran.Distribusi juga dapat
diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah
penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen, sehingga
penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat, dan
saat dibutuhkan).[13]
Seorang atau sebuah perusahaan distributor adalah perantara yang
menyalurkan produk dari pabrikan (manufacturer) ke pengecer (retailer).
Setelah suatu produk dihasilkan oleh pabrik, produk tersebut dikirimkan (dan
biasanya juga sekaligus dijual) ke suatu distributor. Distributor tersebut
kemudian menjual produk tersebut ke pengecer atau pelanggan.
E.
Konsep al Musyarakah (kemitraan)
1.
Pengertian
al Musyarakah
al Musyarakah atau dalam
kitab-kitab fikih sering disebut dengan Syirkah, secara bahasa berarti
bercampur. Adapun menurut istilah, al Musyarakah adalah sebuah kontrak
kerja sama kemitraan untuk meningkatkan nilai aset yang dimiliki setiap mitra
dengan memadukan modal dan sumber daya.[14]
Banyak definisi al Musyarakah ini yang diungkapkan oleh fuqaha,
walaupun diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda namun esensi yang
terkandung di dalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan.[15]
2.
Landasan
Dalil al Musyarakah
a.
Q.S.
al nisa: 12
…
bÎ*sù
(#þqçR%2
usYò2r&
`ÏB
y7Ï9ºs
ôMßgsù
âä!%2uà°
Îû
Ï]è=W9$#
4
.`ÏB
Ï÷èt/
7p§Ï¹ur
4Ó|»qã
!$pkÍ5
÷rr&
Aûøïy
uöxî
9h!$ÒãB
4
Zp§Ï¹ur
z`ÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÎ=ym
ÇÊËÈ
…tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.( Q.S. al nisa: 12)
b.
Q.S.
Shad: 24
tA$s%
ôs)s9
y7yJn=sß
ÉA#xsÝ¡Î0
y7ÏGyf÷ètR
4n<Î)
¾ÏmÅ_$yèÏR
(
¨bÎ)ur
#ZÏVx.
z`ÏiB
Ïä!$sÜn=èø:$#
Éóö6us9
öNåkÝÕ÷èt/
4n?tã
CÙ÷èt/
wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
×@Î=s%ur
$¨B
öNèd
3
£`sßur
ß¼ãr#y
$yJ¯Rr&
çm»¨YtGsù
txÿøótGó$$sù
¼çm/u
§yzur
$YèÏ.#u
z>$tRr&ur
)
ÇËÍÈ
Daud berkata:
"Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami
mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertaubat..(Q.S. Shad: 24)
c.
H.R.
Abu Dawud
قَالَ النَّبِيُّ ص م:
" إِنَّ اللَّهَ، يَقُولُ:
أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا
خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا "
Nabi SAW Bersabda: Allah SWT
Berfirman: Aku adalah yang ketiga dari dua pihak yang berserikat selama salah
satu dari keduanya tidak mengkhiyanati mitranya. Apabila ia mengkhiyanatinya,
maka Aku keluar dari (perserikatan) antar keduanya.(H.R.
Abu Dawud)
3.
Macam-macam
bentuk kemitraan (Syirkah)
a.
Syirkah al Inan
Syirkah
al Inan Adalah kontrak kerja sama kemitraan antara dua orang atau lebih yang
menetapkan persekutuan hak bisnis (tasharruf) dalam suatu modal (maal)
secara persentase (syuyu’) dengan sistem keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Maksud syuyu’ di sini adalah hak tasharruf setiap mitra
atas modal tidak ditentukan secara fisik, melainkan berdasarkan persenan.
Misalnya, 50% dari total modal.[16]
Secara
hukum, syirkah al Inan diakui legalitasnya oleh ulama, sebab disamping
berdasarkan dalil naql, desakan kebutuhan (hajah) perdagangan dalam
skala besar mustahil tanpa melibatkan banyak investor sebagai pemilik modal.
Lebih dari itu, substansi akad syirkah adalah akad wakalah yang
dilegalkan. Artinya, setiap syarik (pihak yang bermitra) saling
mewakilkan secara gratis pada mitranya dalam meniagakan modalnya, untuk
mendapatkan keuntungan bersama.
b.
Syirkah
al Abdan
Syirkah
al Abdan adalah kontrak kerja sama kemitraan
antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan (‘amal) suatu proyek
dengan sistem keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan. Syirkah al abdan
hanya melibatkan tenaga (amal), tanpa melibatkan harta (maal).[17] Contoh, A adalah seorang arsitektur designer, B adalah ahli
konstruksi bangunan, dan C adalah ahli instalasi. Kemudian mereka bertiga
bekerja sama untuk mengerjakan sebuah proyek.
Secara
hukum, syirkah al abdan ini diperselisihkan oleh ulama. Menurut Imam Abu
Hanifah diperbolehkan secara mutlak, menurut Imam malik diperbolehkan jika
pekerjaannya tunggal, dan menurut Syafi’iyah tidak diperbolehkan secara mutlak.
Ulama syafi’iyah tidak memperbolehkan syirkah al inan ini karena menurut mereka
tidak ada istilah syirkah dalam amal.[18]
c.
Syirkah
al Mufawadlah
Syirkah
al Mufawadlah adalah kontrak
kerjasama kemitraan antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha tertentu
yang melibatkan pekerjaan (amal) dan modal (maal) dengan sitem profit and loss
sharing. Syirkah al Mufawadlah ini merupakan kombinasi dari syirkah
al inan dan syirkah al abdan.
Secara
legalitas hukum, Syirkah al Mufawadlah diperselisihkan ulama. Menurut
imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sah. Sebab dalam Syirkah al Mufawadlah terkandung
muatan bai’ dan wakalah, yakni setiap mitra menjual aset modalnya kepada yang
lain, dan melimpahkan managemen pengelolaan (nadhar) aset yang berada di
bawah tangannya.
[19] Sedangkan menurut Syafi’iyah tidak sah, karena dua alasan
mendasar.
Pertama,
legalitas akad syirkah harus dibangun atas dasar penggabungan (ikhthilath)
modal secara persentase (syuyu’), sehingga memungkinkan terjadinya penggabungan
dalam profit. Sebab profit adalah cabang (furu’) dari akar pokok (ushul)
berupa modal. Dalam akad syirkah al mufawadlah tidak tejadi
penggabungan modal (ushul), sehingga penggabungan profit furu’
tidak sah.
Kedua,
membebankan ganti rugi (dlaman) terhadap mitra atas resiko yang diluar
tanggung jawabnya.[20]
d.
Syirkah
al Wujuh
Syirkah
al Wujuh adalah kontrak kerja sama kemitraan
antara dua orang atau lebih yang memiliki popularitas atau ketokohan (wajih)
yang bisa mendongkrak nilai jual komoditi. Yang dimaksud popularitas di sini
adalah pihak yang telah mendapatkan kepercayaan publik (konsumen atau produsen)
dalam dunia bisnis karena prestasi, managemen, atau profesionalisme kerja.[21]
Secara
hukum, akad Syirkah al Wujuh diperselisihkan ulama. Menurut Hanafiyah
dan Hanabilah diperbolehkan dengan dua argumentasi. Pertama, berdasarkan
prinsip awalnya, semua muamalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang
melarangnya. Dan di sini tidak ditemukan dalil yang melarang tersebut. Kedua,
faktor hajah yang mendesak, masih memungkinkan untuk melegalkannya melalui
pendekatan konsep perwakilan implisit (wakalah dlimni).[22]
4.
Rukun
akad syirkah al Inan
a.
Shighah
Yaitu ijab
dan qabul dari seluruh mitra yang menunjukkan makna izin tasharruf terhadap
modal syirkah dalam perniagaan (tijarah), baik secara jelas (sharih)
atau kinayah. Sebab modal yang bersifat gabungan (musytarak)
tidak bisa di-tasharruf-kan tanpa izin pemiliknya.
b.
Aqidain
Yaitu dua
pelaku syirkah (syarikain) yang mengadakan kerja sama kemitraan
dengan modalnya masing-masing. Aqidain disyaratkan harus memenuhi
kriteria sah mengadakan wakalah karena masing-masing syarik (yang
berserikat/mitra) berperan sebagai muwakil (wakil atas nama
perserikatan).[23]
c.
Ma’qud ‘alaih
Yaitu modal
yang di-syirkah-kan. Adapun syarat-syarat ma’qud ‘alaih meliputi:
Ø Syuyu’
Sebelum syirkah
dilangsungkan, disyaratkan kepemilikan setiap mitra terhadap modal harus
bersifat persentase (syuyu’).
Ø Profit sharing
Apabila dalam
kegiatan perserikatan tersebut didapatkan keuntungan, maka hasilnya dibagi
sesuai syuyu’ yang telah disepakati bersama di muka.
Ø Loss sharing
Begitu pula
apabila dalam kegiatan perserikatan tersebut didapatkan kerugian, maka
ditanggung setiap mitra sesuai persentase (syuyu’) modalnya
masing-masing.
F.
Penerapan Prinsip Al Musawah Dalam Praktek Produksi Dan
Distribusi yang berbentuk kemitraan (Al Musyarakah)
Kegiatan produksi
dan distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting pada zaman sekarang ini.
Karena pada dasarnya, kegiatan produksi dan distribusi merupakan sarana yang
bisa dipakai oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
terpenuhinya kebutuhan hidup, manusia akan tetap survive dalam
menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
Namun
demikian, hal yang perlu dicatat adalah, sekalipun kegiatan produksi dan
distribusi ini telah menjadi hal yang vital di tengah-tengah masyarakat ini,
dalam pelaksanaanya tetaplah harus selalu mengikuti rambu-rambu yang telah
digariskan oleh agama. Dengan demikian, dalam praktek kegiatan produksi dan
distribusi ini harus sesuai dengan batasan hukum fikih sebagaimana telah
dibahas oleh para ulama.
Dalam
perserikatan misalnya, dengan mengikuti konsep syirkah al inan adalah
pilihan terbaik karena syirkah ini disepakati keabsahannya oleh ulama. Berbeda dengan bentuk-bentuk syirkah
yang lain, yang mana masih diperselisihkan keabsahannya oleh ulama. Hal ini
sesuai dengan kaidah fikih: الخُروْجُ مِنَ
الْاِخْتِلَافِ مُسْتَحَبٌّ (keluar
dari ikhtilaf adalah hal yang disukai oleh agama).
Selain itu,
kegiatan produksi dan distribusi harus pula mengikuti prinsip al musawah (kesetaraan).
Tidak boleh ada pihak yang lebih superior dari yang lain. Setiap individu
memiliki fitrah kebebebasan bertransaksi yang sama dan dilindungi oleh
hukum islam. Walaupun, kebebasan di sini juga masih tetap dibatasi agar
tetap sesuai dengan ajaran Islam dan bukan kebebasan ala sistem ekonomi barat (kapitalisme)
yang telah terbukti banyak menimpakan ketidak adilan, khususnya negri-negri Islam
yang menggunakan sistem kebebasan (kapitalisme) ala barat ini.
G.
Kesimpulan
Untuk menggali hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah
ekonomi, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas
produksi dan distribusi, konsep al musawah ini sangat tepat untuk
dijadikan pedoman operasionalnya. Karena lebih adil, menjamin kebebasan, dan
lebih menjaga keamanan semua pihak. WALLAHU A’LAM
DAFTAR PUSTAKA
Al
bujairami, Syaikh Sulaiman. Hasyiyah al bujairimy ala al khathib. Damaskus:
Dar al Kutub al Ilmiyah, tt.
al
Bugha, Dr. Musthafa., dkk. Al Fiqh Al
Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i. Juz. III. Beirut: Dar al qalam,
1992.
al Jamal, Syaikh Sulaiman. Hasyiyah
al Jamal. Juz. III, Beirut:
Dar al Fikr, tt.
Al Hasyimy, Muhammad Ali. Manhaj
al Islam Fi al ‘Adalah wa al Musawah; Min Kitab al Mujtama’ al Muslim kama
Yubnih al Islam fi al Kitab Wa al Sunnah (tt: Islamhouse.com, 2009.
al
Nawawi, Al Imam Abu Zakariya. Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi.
Juz. I. Surabaya: al Hidayah, tt.
al Thawalibah, Ali Hasan Muhammad. Makalah
Haqq al Musawah fi al syarri’ah al Islamiyah wa al Mawatsiq al dauliyah. Bahrain:
Markaz al I’lam al amny, tt.
Asya asy, Arim. Al Hurriyyat Al ‘Ammah Fi Al An Dzimah Al
Siyasiyah Al Mu’ashirah. Iskandaria: Munsya’ah al Ma’arif, 1987.
al
Qurthuby, Al Imam Ibn Rusyd. Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid,
Juz. II. Beirut: Dar al Kutub al ilmiyah, tt.
al
zuhaili, Wahbah. Wasathiyah al Islam wa Samahatuh. Damaskus: Jami’ah
Damsyiq, tt.
Efendi, Rustam. Produksi Dalam
Islam. Yogyakarta : Megistra Insania, Press 2003.
Gemala
Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Cet. I. Jakarta: Kencana, 2005.
Nasution, Mustofa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam
. Jakarta : Kencana, 2006.
http://www.artikelsiana.com/2014/11/tujuan-tujuan-distribusi-fungsi-fungsi-distribusi.html,
akses 26 November 2015 pukul 12:30.
Saleh,
Abdul Mun’im. Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah . Yogyakarta:
Ittiqa Press, 2001.
[1] Muhammad Ali al Hasyimy, Manhaj al Islam Fi al ‘Adalah wa al
Musawah; Min Kitab al Mujtama’ al Muslim kama Yubnih al Islam fi al Kitab Wa al
Sunnah (tt: Islamhouse.com, 2009), hlm. 21.
[2] Ali Hasan
Muhammad al Thawalibah, Makalah Haqq al Musawah fi al syarri’ah al Islamiyah
wa al Mawatsiq al Dauliyah (Bahrain: Markaz al I’lam al Amny, tt), hlm. 3.
[3] Q.S. Al
Hujurat: 13.
[4] Muhammad Ali
al Hasyimy, op.cit, hlm. 12-28.
[5]
Arim Asya Asy, Al Hurriyyat Al ‘Ammah Fi Al An Dzimah Al Siyasiyah Al
Mu’ashirah (Iskandaria: Munsya’ah al Ma’arif, 1987), hlm. 303.
[6] Ali Hasan
Muhammad al Thawalibah, Op.Cit, hlm. 4.
[7] Wahbah al
zuhaili, Wasathiyah al Islam wa Samahatuh (Damaskus: Jami’ah Damsyiq,
tt), hlm. 13.
[8] Abdul Mun’im
Saleh, Madzhab Syafi’i; Kajian Konsep al Mashlahah (Yogyakarta: Ittiqa
Press, 2001), hlm. 77.
[9] Ibid,
hlm. 102-103
[10]
Rustam Efendi, Produksi Dalam Islam (Yogyakarta : Megistra Insania Press
2003), hlm. 11-12.
[11] DR.Muhammad Abdul Mun’im dan DR.Muhammad bin Sa’id bin
Naji A-Ghamidi, Ushul Al-Igtishad Al-Islam, hlm. 59-60.
[12]
Mustofa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta :
Kencana, 2006), hlm. 108.
[13] http://www.artikelsiana.com/2014/11/tujuan-tujuan-distribusi-fungsi-fungsi-distribusi.html,
akses 26 November 2015 pukul 12:30.
[14] Syaikh
Sulaiman Al bujairami, Hasyiyah al bujairimy ala al khathib (Damaskus:
Dar al Kutub al Ilmiyah, tt), Juz III, hlm. 40.
[15] Gemala Dewi,
dkk., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. I, hlm.
118.
[16] Al Mawardi, al
Hawi al Kabir (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, tt), Juz. VI, hlm.473.
[17] Dr. Musthafa
al Bugha, dkk., Al Fiqh Al Manhajy Ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i
(Beirut: Dar al qalam, 1992), Juz. III, hlm. 219.
[18] Al Imam Abu
Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi (Surabaya:
al Hidayah, tt), Juz. I, hlm. 346.
[19] Al Imam Ibn
Rusyd al Qurthuby, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid (Beirut:
Dar al Kutub al ilmiyah, tt), Juz. II, hlm. 385-386.
[20] Syaikh
Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al Fikr,
tt), Juz. III, hlm. 393.
[21] Syaikh
Sulaiman al Jamal, Hasyiyah al Jamal (Beirut: Dar al fikr,
tt), Juz. III, hlm. 393.
[22] Al Imam Abu
Zakariya al Nawawi, Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab li al Syairazi…, Juz. I,
hlm. 350.
[23] Dr. Musthafa
al Bugha, dkk., Op.Cit, Juz. 3, hlm. 224.
Comments
Post a Comment